Quantcast
Channel: Alam Islami – Ngaji Yuk!
Viewing all 120 articles
Browse latest View live

Mufti Suriah Syaikh Adnan Al Fayouni: Tak Ada Ciri Islam Melekat pada ISIS

$
0
0

Ulama besar dan mufti (pemberi fatwa) asal Suriah, Syaikh Adnan Al Fayouni mengatakan, umat Islam di Suriah sama sekali tidak mengenal Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Menurutnya, awak ISIS bukanlah warga Suriah. Pasukan ini tiba-tiba saja muncul di tengah kisruh Suriah dan menyingkirkan ulama di sana.

Hal ini disampaikan Syaikh Adnan di depan peserta Rapat Kerja Pengurus Himpunan Ulama Dayah Aceh (Raker HUDA) yang digelar Minggu (29/11) di Hotel Mekkah, Banda Aceh. Acara ini dihadiri sekitar 200 ulama dayah se-Aceh. Acara yang bertema “Esksistensi Regulasi Penguatan Syariat dalam Bingkai Ahlussunnah wal Jamaah” itu juga dirangkai dengan pelantikan pengurus Rabithah Thaliban Aceh (RTA) pada sesi terakhir. Raker HUDA itu juga dihadiri ulama dari luar negeri lainnya, seperti Syeikh Omar Dieb dari Yaman, Syeikh Mahmud Syahadah dari Suriah, dan Taceddin Ince dari Turki.

“Jika kita ingin memahami ISIS, maka kenalilah perbuatannya yang selalu menyerang umat Islam. Tak ada ciri Islam melekat pada mereka. Rasulullah saja dulu bermuamalah sangat baik dengan lawan-lawannya, walaupun sudah banyak rasa sakit yang dialaminya. Apalagi dengan umat Islam saat ahlu Mekkah, saat pembebasan Kota Mekkah. Jadi, tetap tidak dibenarkan dengan kekerasan, seperti yang dilakukan ISIS saat ini,” katanya dalam bahasa Arab yang diterjemahkan Ustaz Suryandi Lc dan Tgk Muhammad Hatta Lc MEd.

Ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang juga Wakil Rektor Universitas Ahmad Kuffaro, Damaskus, ini mengatakan, ISIS bekerja sama dengan Yahudi dan kaum munafik. Mereka adalah ciptaan penguasa Barat untuk menghancurkan Islam, ini terbukti karena Yahudi tak pernah mereka perangi. Ia menilai, gerakan ini mencederai agama Islam yang rahmatan lil alamin, karena kelompok ini menggunakan nama Islam. Semua ulama Aswaja di Suriah tak ada yang setuju dengan tindakan ISIS. Ia mengingatkan, agar apa yang terjadi di Suriah tidak sampai terjadi di Indonesia. Untuk itu, ulama harus bersatu. Waspadai dai palsu yang hanya berorientasi materi. Dai seperti itu dia nilai tidak mengamalkan ilmu agama dan tak mampu memengaruhi umat ke jalan yang baik. Dengan demikian, mereka tidak layak disebut ulama.

“Dai itu harus mengingatkan manusia. Dai bukan hakim, jadi bukan untuk menghakimi. Ketika melihat seseorang melihat berbuat salah ajaklah mereka dengan santun, sehingga mereka tidak lari dari Islam,” kata Pimpinan Tarekat Naqsyabandiah yang menempuh jalan hidup (suluk) dengan cara berzikir sir (rahasia) dalam hati itu.

Sementara itu, ulama Suriah lainnya, Syaikh Mahmud Syahadah mengatakan, pihaknya menentang keras liberalisme dan radikalisme di tengah-tengah umat Islam. Pasalnya, paham tersebut tidak berasal dari ajaran Islam.
Menurutnya, pemikiran liberal dan ekstrem seperti yang dilakoni ISIS hanya diterima oleh masyarakat yang bodoh dan jahil, atau mereka yang tidak mau bersusah payah dalam menuntut ilmu. Paham-paham seperti ini tidak akan berkembang di masyaakat yang telah berpikir maju.

Syaikh Mahmud Syahadah juga mengajak para pengurus HUDA untuk bermu’adah (berjanji) kepada Allah untuk berdakwah dengan ikhlas, kemudian menguatkan ukhuwah dengan sesama umat Islam. Karena hari ini, salah satu misi utama musuh-musuh Islam adalah membuat ulama-ulama terpecah belah.

Sementara itu, Sekjen HUDA, Tu Bulqaini mengatakan, raker tersebut bertujuan menguatkan ukhuwah antarulama Aswaja. Juga untuk mempersiapkan Deklarasi Aswaja Melayu Raya yang akan digelar Juni 2016 di Malaysia.

Acara ini dirangkai dengan pelantikan pengurus RTA. Para pengurus yang dilantik, antara lain, Tgk Imran Abu Bakar SHI MSy (ketua umum), Tgk Marbawi Yusuf (sekjen). Mereka dilantik oleh Ketua I HUDA, Tgk HM Yusuf A Wahab.  (Serambi Indonesia/ Foto: Tgk Muhammad Iqbal Jalil)


Awal Mula Kemunculan Gagasan Khilafah Masuk ke Indonesia

$
0
0

Disebut-sebut “Khilafah” mulai ramai sejak tahun 2000, kurang lebih sudah 15 tahun lamanya. Tidak sedikit kader-kader Nahdlatul Ulama yang tertipu dan “tergelincir”, sehingga memberikan dukungan moril maupun materiil terhadap Hizbul Khilafah.

Dalam sebuah perbincangan dengan guru saya, KH. Abdul Adzim bin Muhammad Suhaimi, seorang ulama sepuh di kawasan Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Beliau adalah ulama senior dari alumni Universitas al-Azhar Mesir. Beliau pertama yang menulis tesis tentang “Gerakan Zionisme di Dunia Islam”. Beliau mengatakan kepada saya: “Isu Khilafah itu pernah digembar-gemborkan di Mesir, tetapi tidak laku. Kemudian isu itu diekspor ke Australia”.

Setelah saya coba telusuri, siapa yang pertamakali membawa isu khilafah ke Indonesia. Orangnya masih hidup di Kota Bogor, namanya Abdurrahman al-Baghdadi. Dia adalah lulusan IPB Bogor yang pernah menuntut ilmu, sekolah S2 di Australia. Di sana ia bertemu dengan para aktifis Khilafah dan membawa isu Khilafah ini ke Indonesia.

Kemudian di Indonesia ia mengkader antara lain Bapak Mahfudz Kurnia, Ismail Yusanto dan Muhammad al-Kahattat (nama aslinya Gatot Yujobroto). Beberapa dari yang lainnya kemudian mendirikan cabang yang dinamai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Sebelum mendirikan gerakan tersebut, Abdurrahman al-Baghdadi berputar kemana-mana dalam rangka menawarkan gagasan Khilafah. Gagasan ini selalu mendapat penolakan. Ketika ditawarkan ke Jamaah Tabligh (JT), tetapi ditolak, kata mereka: “Lho jangan tawarkan Khilafah ke saya. Kalau mau tawarkan masjid kosong, ya pati saya terima”.

Kemudian gagasan itu ditawarkan ke Dewan Dakwah, tetapi juga ditolak. Sehingga gagasan Khilafah ini sempat menjadi “musuh bersama” di antara ormas-ormas Islam.

Tetapi Abdurrahman al-Baghdadi tidak berani menawarkannya ke PBNU, karena sudah alergi dengan Gus Dur ketika itu. Jadi Gus Dur ini tidak perlu berdebat, dengar namanya saja orang sudah enggan. Ini luar biasanya Gus Dur, namanya menang sebelum perang. Jadi tidak perlu banyak mengeluarkan energi, karena Gus Dur selalu memakai prinsip: “Gitu aja koq repot!”

Itulah awal-mula munculnya gagasan Khilafah, yang kemudian berkembang terus dari IPB masuk ke UI, ITB, dan kemudian berkembang ke universitas atau kampus-kampus negeri unggulan di Pulau Jawa.

Sampai sekarang, yang mengagetkan saya, isu Khilafah sudah sampai di pulau terkecil di Sulawesi Tenggara. Dan yang mengecewakan saya, nama saya dicatut sebagai “Ustadz Khilafah”. Kenapa? Karena saya ini dianggap dekat dengan aktifis-aktifis Khilafah dan pada akhirnya saya dianggap sebagai guru mereka. Dan parahnya itu dijadikan sebagai jualan. Silakan searching di google maka akan ditemukan nama saya.

Itu awalnya saat saya menghadiri sebuah seminar “Menyikapi Jatuhnya Husni Mubarak dari Kursi Pemerintahan”. Saya tidak tahu kalau acara itu ternyata adalah acara promosi mereka. Yang menghadirinya kebanyakan kaum awam dari berbagi macam lapisan masyarakat. Tetapi yang membuat saya tertawa adalah bahasanya seperti bahasa Bakornas dan Bapernas. Maksudnya, bahasanya di sana bukan bahasa merakyat, tetapi bahasa yang sifatnya elit seperti membahas pendapatan negara dan membahas kebijakan politik. Sedangkan yang hadir di situ adalah seperti tukang sayur dan tukang jamu, sampai mereka saling bertanya: “Pendapatan perkapita itu apa?”. Bahkan terlalu tinggi, sehingga saya yakin dari sekian banyak peserta yang menghadirinya tidak faham apa itu isu Khilafah.

Yang mengagetkan saya lagi, tidak sedikit kader-kader Nahdlatul Ulama (NU) yang sudah sampai pada tingkatan disebut “Kyai”, pada beberapa waktu yang lalu ramai-ramai datang ke sebuah lembaga pemerintahan menyatakan dukungannya terhadap perjuangan Khilafah. Sehingga saya berpikir, “Kalau ini didiamkan yang terancam bukan cuma negara, tapi juga agama”. Karena ada upaya politisasi agama untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.

Untuk selengkapnya, silahkan download ebook Islam “Mengapa Indonesia Bukan Khilafah?”, yang di dalamnya akan dibahas dan dikupas tuntas tentang beberapa hal materi khilafah, diantaranya:

  1. Bantahan atas Gagasan Khilafah
  2. Klaim Keji Kepada Umat Islam yang Tidak Menyetujui Gagasan Khilafah
  3. Sikap Para Ulama Ahlussunnah Terhadap Gagasan Khilafah

DOWNLOAD EBOOK ISLAMI: MENGAPA INDONESIA BUKAN KHILAFAH

Oleh: KH. Abdi Kurnia Djohan, SH, MH., Pengurus Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), Alumni Pondok Pesantren Buntet Cirebon, yang juga Dosen Agama Islam Universitas Indonesia (UI) dan Ketua Lembaga Dakwah Al-Azhar Jakarta. Tulisan dan ebook “Mengapa Indonesia Bukan Khilafah?” di atas adalah transkip dari ceramah beliau di Masjid Al-Hidayah Kota Serang Baru Cikarang, pada Jum’at, 15 Agustus 2014, yang dialihtuliskan oleh Imam Besar Sya’roni As-Samfuriy.

Amaliah Muhammadiyah Diubah oleh Kaumnya Sendiri Setelah Wafatnya KH Ahmad Dahlan

$
0
0

Secara ringkas kami katakan bahwa, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah pada 18 November 1912/ 8 Dzulhijjah 1330) dengan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah satu sumber guru dengan amaliyah ‘ubudiyah yang sama. Bahkan keduanya pun sama-sama satu nasab dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Berikut kami kutip kembali ringkasan kitab “Fiqih Muhammadiyyah”, diterbitkan penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, Jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliyah kedua ulama besar di atas tidak berbeda:

  1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha…” (hlm. 25)
  2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira…” (hlm. 25)
  3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (hlm. 26)
  4. Setiap shalat Subuh membaca doa Qunut (hlm. 27)
  5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (hlm. 29)
  6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (hlm. 40-42)
  7. Shalat Tarawih dengan 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (hlm. 49-50)
  8. Tentang shalat dan khutbah Jum’at juga sama dengan amaliyah NU (hlm. 57-60)

KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.

Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.

Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis bertemu dengan Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.

Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama. Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”.

Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Mekah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Mekah.

Puluhan ulama-ulama Mekah waktu itu berdarah Nusantara. Praktik ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan lain-lainnya.

Seusai pulang dari Mekah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Mekah. Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Mekah.

Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya. Saat itu, di Mekah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fiqih.

Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Mekah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sampai sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi saw. Bagi penduduk Mekah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi saw.

Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Mekah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Subuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Mekah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Mekah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.

Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ‘ubudiyah. Ketua PP. Muhammadiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: “KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqih madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Subuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.

Sedangkan jawaban ringan yang dikemukakan oleh Dewan Tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktik ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Jawaban mereka adalah “Karena Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”.

Itulah sedikit gambaran tentang amaliyah Muhammadiyyah pada masa KH. Ahmad Dahlan yang sama persis dengan amaliyah Nahdlatul Ulama (NU). Namun, sangat disayangkan, amaliyah-amaliyah organisasi yang telah didirikan dan dikelola dengan baik oleh KH. Ahmad Dahlan telah dirubah oleh kaumnya sendiri setelah wafatnya beliau.

Wallahu A’lam…

Oleh: Saifurroyya, dalam DutaIslam.com.

Anak 5 Tahun Ini Butuh Uluran Tangan Anda untuk Biaya Pengobatan #HatiuntukAdrian

$
0
0

Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqoh PBNU mengajak seluruh masyarakat untuk membantu#HatiuntukAdrian, anak umur 5 tahun 8 bulan yang sedang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Cipto Mengunkusumo (RSCM), Jakarta. Ia divonis dokter mengidap Hepatitis B dan kanker hati sehingga harus melakukan transplantasi hati.

Menurut Program and Operational Director LAZIS PBNU Nur Rohman di gedung PBNU, Jakarta, Senin (30/11), karena penyakit yang dideritanya, Adrian membutuhkan biaya 1,2 miliar. Sementara orang tuanya, Susanto, hanyalah seorang buruh tani yang mendapatkan upah 30 ribu per hari.

Memang sejak usia dua tahun Adrian sering sakit-sakitan. Ia sudah berobat berulang kali ke rumah sakit daerah setempat, namun tidak kunjung sembuh. Kemudian disarankan dokter untuk berobat ke RSCM pada setengah tahun lalu. Dengan biaya dari BPJS ia berobat ke RSCM. Dan vonis itu pun tiba, vonis yang membuat Susanto lunglai. Berdasarkan diagnosa dokter, Adrian divonis kanker hati. Jika ingin tertolong, ia harus transplantasi hati.

Karena BPJS tak mampu menanggung semua biaya itu, ibunya ibunya Adrian merelakan diri menjadi tenaga kerja di Taiwan. Adrian diurus Susanto. Ia yakin pasti ada jalan keluar. “La yukllifullahu nafsan ila wus’aha. Allah tidak akan menguji di luar kemampuan manusia,” kata Rohman menirukan ketegaran hati Susanto.

Tanpa diduga sebelumnya, Susanto punya cara sendiri untuk menyelamatkan anak sulungnya itu. ia akan menjual ginjal kepada orang yang membutuhkannya. Juga akan mendonorkan hatinya untuk Adrian. Meski istrinya tidak mengizinkan, ia bersikukuh jika akan ada yang membeli ginjalnya, ia akan menjual demi Adrian. Kemudian Susanto berjalan kaki ke istana dengan membawa tulisan menjual ginjalnya kepada presiden.

LAZISNU melalui program NU Care telah berkali-kali menjenguk keluarga Adrian. Pernah juga menjenguk bersama Mustasyar PBNU Abuya Muhtadi. “Kami selalu berkomunikasi dengan Pak Susanto tentang kondisi Adrian. Kami memberikan support, membantu mengkomunikasikannya dengan komunitas-komunitas lain seperti melalui Twitter @Lazisnu dengan hashtag #HatiuntukAdrian,” terang Rohman.

LAZISNU telah menyantuni Adrian melalui Susanto, namun jauh dari cukup. Untuk itu, LAZISNU mengajak semua lapisan mayarakat untuk bersama-sama, bersatu-padu membantu biaya pengobatan supaya Adrian ini tertolong.

Hati Untuk Adrian, Donasi Untuk Biaya Pengobatan

Jika Saudara dan Saudari mau mengulurkan tangan membantu Adrian melalui LAZISNU silakan Konfirmasikan donasi melalui WA 081398009800. Kemudian ketik pesan #HatiuntukAdrian saat transfer ke rek Mandiri #LAZISNU : 1230004838977. (Abdullah Alawi/ NU Online)

Wawancara Eksklusif Bersama Syaikh Taufiq Ramadhan Al-Buthi Terkait Konflik Suriah

$
0
0

Dengan segala ekspresinya yang membuncah, sesekali mengusap air mata, Ketua Ikatan Ulama Suriah, Syaikh Dr Muhammad Taufiq Ramadhan al-Buthi yang merupakan putra dari ulama terkemuka Suriah, almarhum Syekh Ramadhan al-Buthi ini, mengisahkan detik-detik akhir kematian ayahnya secara syahid tersebut di tangan kelompok radikalis.

Berbagai tudingan miring ditujukan kepada almarhum hingga pembakaran buku-bukunya. Padahal menurut Taufiq, sikap almarhum sangat netral dalam konflik Suriah. Tidak condong kepada salah satu pihak lantaran krisis yang melanda Suriah, tak terlepas dari konspirasi besar untuk menjatuhkan Suriah.”Ada agenda besar di balik berkobarnya fitnah di Suriah,” katanya.

Wartawan Republika Nashih Nashrullah, berkesempatan berbincang dengan anggota dewan penasehat Presiden Basyar al-Asad itu, di sela-sela kunjungannya ke Indonesia menghadiri Konferensi ke-4 International Conference of Islamic Scholars (ICIS). Atas permintaannya, sejumlah perbincangan sengaja off the record. Berikut petikan perbincangannya:

Apa sebenarnya yang terjadi pada detik-detik jelang kematian Ayah Anda, Syekh al-Buthi?

Pada 21 Maret 2013, usai shalat Maghrib seorang pemuda berusia 18 tahun-an datang masuk ke Masjid al-Iman, Damaskus, ia semula duduk di belakang dua menit, lalu beranjak mendekati posisi ayah saya yang sedang menyampaikan kajian tafsir. Jarak antara pemuda dengan posisi beliau duduk kira-kira 6 meter. Lalu meledakkan diri. Sebagian besar jamaah meninggal langsung jumlahnya 45 orang.

Total korban jiwa sebanyak 53 orang. Ledakan tak berdampak signifikan pada luka ayah saya, hanya luka ringan di bagian bibir. Bahan peledak C-4 itu di dalamnya terdapat potongan-potongan material kecil. Ledakkan begitu dahsyat, begitu tersadar, meski dalam kondisi berdarah-darah, Ahmad mencoba menolong kakeknya, tapi lukanya yang parah tak lagi mampu menopang dirinya sendiri. Ia terjatuh dan akhirnya syahid di rumah sakit.

Melalui telepon, kami mendapat informasi, ayahanda saya hanya terluka di bagian kening dan kaki, tetapi Allah SWT berkehendak lain, sesampainya di RS, saya dikasih tahu, beliau telah wafat. Saya akhirnya melihat langsung jenazahnya, perasaan bercampur aduk, seolah tak percaya. Beliau seperti tertidur biasa. Mukanya putih, badannya masih hangat, bibirnya merah, saya cium keningnya. Saya tanya ke dokter bagaimana kondisi Ahmad? Dokter menjawab kritis, Ahmad akhirnya wafat.

Peristiwa tragis ini terjadi, apakah ada firasat sebelumnya?

Yang jelas, mereka menyadari al-Buthi yang telah menyingkap kebusukan di balik krisis Suriah ini, harus segara dihabisi. Beberapa pekan sebelum ayah wafat, kita menggelar pertemuan keluarga, dan beliau berkata,” Saya bermimpi, wallahu a’lam, apa maknanya, tapi saya berfirasat, ajal telah dekat.” Aksi teror sebetulnya tak membuat kami heran, kita sudah memperkirakan ini semua bakal terjadi, kami mengkhawatirkan ayah kami.

Pesan yang tersirat yaitu hendak mencoreng wajah Islam lewat sosok al-Buthi. Pekan pertama krisis Suriah, saat saya sedang berada di Brunei Darussalam, sebuah bom dijatuhkan di depan rumah kami, selanjutnya, sebuah bom pernah dilempar nyaris mengenai mobil saya, ini bukan kali pertama tetapi berulang.

Beberapa kali para pelaku juga menulis ancaman-ancaman dengan kata-kata kasar, menjijikkan, di tembok rumah kami. Begitulah mereka. Karena itu beliau menyarankan agar tidak pergi ke masjid, meski jarak rumah kami tak terlalu jauh karena akses menunju masjid tak lagi aman. Beberapa hari kemudian, Ayah saya kembali mengumpulkan keluarga, termasuk anak-anak saya.

Beliau meminta agar putraku yang tengah sakit, Mahmud, tak pergi merekam ceramah rutin beliau di Universitas al-Kuwait, dekat rumah. Namun, permintaan ini tak diiyakan, Mahmud dan Ahmad tetap berangkat untuk merekam episode ke-17 dari acara fi qadhaya as-sa’ah ma al-Buthi yang diasuh kakeknya tersebut. Ini adalah ceramah pamungkas. Beliau kata putraku, berbicara blak-blakan dan menyadari bahwa ajal telah dekat.

Sekembalinya dari agenda itu, Ahmad bercengkerama dan berpamitan dengan segenap keluarga, seakan hendak pergi jauh. Mendekati Maghrib, ia bergegas menuju rumah kakeknya seolah-olah ada janji. Keduanya lantas shalat Maghrib ke Masjid al-Iman. Sementara Mahmud tetap berada di rumah.

Usai shalat dia kaget mendapat kabar, ada ledakan besar di Masjid Imam. Ia bergegas menuju Masjid. Kita mencoba untuk tetap tenang dan mencari tahu apa yang sedang terjadi, meski kabar itu mengguncang perasaan kami. Kami menyusul menuju rumah sakit bersama keluarga, termasuk istri dari Ahmad. Hingga saya melihat langsung apa yang terjadi.

Lalu seperti apakah sebetulnya sikap almarhum terhadap krisis Suriah?

Terkait konflik Suriah, almarhum ayah saya, memiliki sikap yang dilandasi dengan kaidah syariat. Sikap tersebut tidak condong ke satu pihak, atau mendukung pihak lainnya, akan tetapi berpegangan pada dua hal, hukum syariat menentang ulil amri (pemerintah) merujuk hadis dan pendapat ulama terkait masalah ini. Dan kedua, fitnah ini adalah siasat pihak luar terutama Zionis yang menginginkan pertumpahan darah di Suriah juga kehancuran dan perpecahan negara ini.

Terungkap di hadapan kami, agenda besar memecah belah Suriah secara sekterian dan sukuisme, hingga menjadi negara-negara kecil yang saling bersiteru. Kami punya buktinya. Posisi ini menempatkan alm ayah saya sangat netral, tidak memuji pemerintah tak pula mencelanya, justru menjelaskan hukum syari’inya dan memperingatkan dampak dari fitnah ini. Anda bisa simak sikap beliau dalam film dokumentasi pendek di youtube dari awal krisis meletus hingga jelang hari syahidnya dengan judul “watsaiqi haula mauqi al-‘Allamah al-Buthi min al-Azmat as-Suriyah”.

Faktanya, ‘serangan’ bertubi-tubi ditujukan kepada beliau dari stasiun tv yang berpihak mengobarkan fitnah dan menjulukinya dengan beragam gelar, seperti ulama pemerintah. Padahal begitu jelas, ayah saya tak pernah seharipun memuji Basyar al-Asad. Tiap bertemu Asad, Al-Buthi justru menasehati langsung, tidak menyanjung. Berbeda dengan ulama lainnya yang bermanis-manis ria di depan Assad, lalu mereka mengobarkan fitnah tatkala berada di belakang Sang Presiden itu. Intimadasi dan ancaman yang dialamatkan ke ayah saya pun bermunculan.

Apa sebenarnya yang tengah terjadi di negara Anda?

Konflik di negara kami bukan konflik sekterian dan agama, yang membenturkan antara Sunni dan Syiah, atau Muslim dan non-Muslim. Ada tiga target utama dari konflik yang melanda Suriah sekarang. Pertama menghancurkan Suriah, kedua, mendistorsi dan mencoreng wajah Islam di mata dunia, sebagai agama yang menyeramkan sekaligus menakutkan agar mereka menjauh dari risalah ini. Kita punya contoh bukti. Misalnya, perang Suriah sekarang faktanya tidak melibatkan sesama warga Suriah asli, sama sekali. Tetapi, konflik ini di-setting agar melibatkan warga sesama Suriah. Kita lihat sekarang ISIS, tak semuanya orang Suriah, begitu juga Jubha el-Nusra, mereka gabungan dari jihadis dari berbagai negara.

Apakah mereka datang hanya untuk Assad? Tidak. Sederhana saja, jika masalahnya adalah Assad, maka lihatlah yang terjadi di Libya, apakah saat Qaddafi berhasil dilengserkan dan dibunuh, masalah selesai? Tidak! Justru di sanalah permulaannya. Demikian juga, ketika Shadam Husein mati di tiang gantugan, Irak bebas masalah? Tidak. Mereka ingin Suriah porak poranda karena negara ini dianggap sulit ditaklukkan. Suriah hingga sekarang tak mau menyerahkan kehormatannya untuk mereka.

Apa bukti lain bila konflik Suriah ini adalah skenario besar?

Sekarang saya tunjukkan bukti lagi. Banyak sekali para jihadis yang berasal dari Prancis, Inggris, ratusan hingga ribuan berdatangan ke Suriah bersama dengan istri mereka bahkan melibatkan media dan beranggapan, bahwa pintu surga terbuka melalui Suriah. Mereka datang bukan tanpa sepengetahuan negara-negara Barat, jelas Barat tahu.

Mustahil intelijen mereka tak mampu mendeteksi gerak-gerak para jihadis itu. Kita punya rekaman bagaimana aktivitas jihadis itu. Lihat saja, bagaimana seorang jihadis membunuh tentara Suriah, mengeluarkan jantung lalu memakannya. Apa maksudnya? Tak lain menunjukkan ke Barat, ini lho potret seram Islam jika kalian memeluk agama ini, ujung-ujungnya akan seperti ini. Jadi, apa yang terjadi di Suriah sekarang, ialah mengatasnamakan Islam tetapi justru untuk ‘menyembelih’ agama ini.

Tetapi mereka melandasi doktrin mereka dengan agama?

Di titik ini, saya menyangsikan, keislaman mereka. Kalaupun Islam, mereka adalah kalangan yang tak mengerti hukum-hukum syariat. Islam masuk ke Eropa hanya kulitnya, permukaan saja. Dalam keyakinan para jihadis itu, pintu surga terbuka langsung di Suriah. Memang tidak semua termakan dengan propaganda negatif Islam itu, 20 persen mungkin bersikap bijak bahwa aksi teror di Suriah ini bukan wajah Islam, tapi 80 persen tak banyak tahu.

Kondisi tersebut ternyata juga dimanfaatkan oleh Barat. Inilah tujuan ketiga dari krisis Suriah, yaitu menghabisi umat Islam di Eropa. Biarkan Muslim Eropa berjihad ke Suriah, ratusan bahkan ribuan, dan biar mereka meninggal di sana. Ini pula tujuan ketika Barat membiarkan Muslim Eropa berjihad ke Afganistan dan Irak. Kita sudah dalam level target ketiga ini. Barat tak takut dengan Islam di timur, tetapi yang mereka takuti adalah kebangkitan Islam di Barat. Jika mereka takut Islam di Timur pasti mereka akan menutup jihadis sejak di imigrasi.

Mengapa sekali lagi ISIS dan para jihadis mendasari doktrin itu dengan agama?

Ideologi radikal dan ekstrem itu tak berdiri sendiri. Ada skenario besar di belakangnya. Saya tak perlu sebut, semua orang tahu. Anda bisa lihat sendiri, mengapa ISIS tak memerangi Israel, justru berperang dengan saudara sesama Islam? Dan lihatlah bagaimana bisa Jubha el-Nusra mendapatkan logistik bahkan hingga peralatan perang dari Israel? Rudal Hawn berasal dari Israel. Korban luka dari el-Nusra juga ternyata diobati di Israel.

Saya rasa, para jihadis itu tak sepenuhnya menyadari skenario besar ini. Pemahaman Islam mereka hanya di permukaan. Buktinya, fatwa-fatwa yang mereka keluarkan sangat dangkal dan jauh dari prinsip Islam, seperti jihad nikah, atau penggunaan narkoba. Mereka bersembunyi di balik ayat-ayat perang, padahal jelas Rasulullah SAW tidaklah diutus kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta.

ISIS merusak fasilitas umum, memutuskan listrik, menghancurkan stasiuan bahan bakar gas, mereka jual murah minyak mentah. Belum lagi cara mereka berlindung di balik warga sipil. Salah jika Suriah dituding justru yang menggunakan warga sipil sebagai benteng hidup, justru mereka. Tentara Suriah justru kini mendekati mereka head to head. Inilah bukti bahwa radikalisme dan ekstrimisme mereka berangkat dari doktrin omong kosong.

Di tengah kian memanasnya konflik Suriah saat ini, apakah Anda yakin krisis ini akan berakhir?

Dalam konteks Suriah, saya tidak melihat secara fisik. Saya hanya melihat prinsip-prinsip ketuhanan yang agung. Rasulullah SAW dalam hadis shahihnya mengatakan, bahwa Allah SWT akan menjaga Syam dan penduduknya. Kita sangat yakin itu. Suriah yang diprediksi jatuh dalam hitungan minggu atau paling banter bulan, ternyata alhamdulillah, memasuki tahun kelima, Allah masih melindungi negara kami.

Suriah hari ini bahkan lebih kuat dari kemarin. Oposisi di Damaskus, berislah. Beberapa wilayah juga kembali ke pangkuan Suriah. Jihadis di Gouta saling berperang sesama mereka. Kawasan barat daya hingga perbatasan Palestina, memang masih ada perang, tapi lumayan membaik juga demikian di Dar’a. Di wilayah Timur, seperti Ruqa, sebagian besar ISIS kabur.

Kendati demikian, kita tidak menafikan kesalahan sebagian dari kita. Tetapi, yang kita bicarakan adalah persoalan politik dan dinamika yang berkembang. Saya kembalikan lagi kepada tuntunan Alllah SWT dalam Alquran yang mengatakan “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri”. (QS an-Nisaa [4] 79). Saya yakin, krisis ini akan berakhir di bawah kemenangan Suriah. Tetapi marilah kita berdoa agar para pendosa tidak menjadi penghalang kemenangan ini terwujud. Krisis ini adalah ujian dan pendidikan bagi kita.

Sumber: Republika Online.

Kanada Sambut Pengungsi Suriah dengan Qashidah Shalawat Thala’al Badru ‘Alaina

$
0
0

Sambutan luar biasa ditunjukan Kanada saat menyambut kedatangan para pengungsi Suriah. Pesawat pertama yang membawa para pengungsi itu mendarat di Toronto, Kanada, pada Jumat, (11/12/2015). Perdana Menteri Kanda Justin Trudeau secara pribadi berkesempatan hadir di bandara guna menyambut 163 pendatang baru itu yang terbang dari Beirut, Lebanon, dan langsung membantu mendistribusikan mantel musim dingin yang hangat.

Tak mau kalah dengan Perdana Menterinya, anak-anak Kanada pun ikut menyambut gembira pengungsi Suriah. Pada Sabtu (12/12/2015), paduan suara anak-anak Kanada dari berbagai latar belakang suku dan ras mengumandangkan qashidah shalawat Thala’al Badru ‘Alaina yang khusus dinyanyikan untuk menyambut kedatangan para pengungsi Suriah di negaranya.

Qashidah shalawat Thala’al Badru ‘Alaina sendiri merupakan salah satu qashidah tertua dalam Islam. Dahulu, qashidah ini dilantunkan oleh para sahabat Anshar dengan diiringi tabuhan rebana guna menyambut kedatangan Rasulullah dan sahabatnya saat peristiwa Hijrah dari Makkah ke Madinah. Bisa dikatakan, Thala’al Badru ‘Alaina yang di dalamnya mengandung pesan sambutan dan harapan adalah sebagai tonggak sejarah kemunculan dan berkembangnya qashidah atau hadrah hingga saat ini.

Melihat sambutan anak-anak Kanada dengan lantunan qashidah shalawat yang diunggah di Youtube itu, banyak para netizen media sosial menanggapi positif, senang, dan kagum. Bahkan beberapa diantara mereka tak kuasa menahan haru hingga menangis meneteskan air mata.

Akun Med Zeghmen mengaku takjub dan menyatakan itu sebagai hal terbaik yang pernah ia lihat di Youtube. Ia pun berterimakasih kepada Kanada.

“Ini hal terbaik yang pernah saya lihat di YouTube hari ini. Melihat sebuah negara, pemerintah, dan anak-anak yang dari berbagai negara digabungkan. Lagu klasik Islam untuk ucapan sambutan sungguh sangat menakjubkan. Terimakasih Kanada, berikan pelajaran bagi tetangga anda!”, tulis akun sosial media Youtube Med Zeghmen, Ahad (13/12/2015).

Senada dengan Med Zeghmen, salah seorang pengguna yang berasal dari Arab dengan akun DrSaraLove menyatakan rasa terimaksihnya kepada Kanada. Ia pun menangis melihat video sambutan anak-anak Kanada itu.

“Saya adalah orang Arab, video ini membuat saya menangis. Saya belum pernah menangis seperti ini dalam waktu yang lama. Terima kasih Kanada. Warga yang baik. Aku benci pemerintah Arab kami bahkan lebih dari itu sekarang”, ungkap DrSaraLove, Ahad (13/12/2015).

Sambutan hangat Kanada, yang jaraknya ribuan mil dari Suriah ini, seakan menusuk negara-negara Arab tetangganya yang justru lebih asyik dalam perdebatan mengenai penampungan imigran yang mencari suaka tanpa tindakan nyata. Tidak heran, para pengungsi Suriah lebih menjatuhkan pilihannya ke negara-negara Eropa dan Amerika ketimbang negara Timur Tengah yang bergelimangan kekayaan dan kemakmuran seperti Arab Saudi dan Qatar. Kanada telah membuktikan, tanpa basa-basi menyambut kedatangan imigran dari Suriah.

“Negara ini menunjukan kepada dunia bagaimana untuk membuka hati kita,” Trudeau dengan bangga mengatakan seperti dikutip BBC, Jumat (11/12/2015) ketika menyambut 163 pengungsi tersebut.

Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau Bersama Anak Pengungsi Suriah

Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau Bersama Anak Pengungsi Suriah

Justin Trudeau yang terpilih sebagai Perdana Menteri Kanada bulan lalu itu telah berkomitmen bahwa pemerintahan Liberal yang dipimpinnya akan menyambut 25.000 imigran lagi sampai bulan Februari 2016. Menteri Imigrasi Kanada John McCallum menyatakan tidak ada perdebatan untuk menampung para imigran ini. Seluruh 10 provinsi Kanada secara bulat setuju untuk menerima kedatangan imigran yang negara asalnya ini dikoyak oleh perang saudara berkepanjangan.

“Ini adalah saat yang membanggakan bagi Kanada, ini menunjukan bagaimana jiwa warga Kanada. Ini adalah kebanggaan nasional.“

McCallum mengatakan bahwa sekitar 800 pengungsi yang akan datang telah menjalani pemeriksaan latar belakang mendalam di Lebanon dan Yordania sebelum diterbangkan ke Kanada.

Berikut adalah cuplikan video paduan suara anak-anak Kanada yang melantunkan qashidah shalawat Thala’al Badru ‘Alaina dalam menyambut tetangga barunya para pengungsi Suriah:

 

ATAU LIHAT VIDEONYA DI YOUTUBE

PETIKAN LIRIK QASHIDAH SHALAWAT THALA’AL BADRU ‘ALAINA

طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا
Thala’al Badru ‘Alaina
Purnama telah terbit di atas kami

مِنْ ثَنِيَاتِ الْوَدَاعْ
Min tsaniyyatil Wada’
Dari arah Tsaniyatul Wada’

وَجَبَ الشُّكْرُ عَليْنَا
Wajabasy Syukru ‘Alaina
Kita wajib mengucap syukur

مَادَعَى لِلّٰهِ دَاعْ
Ma da’a lillahi da’
Dengan doa kepada Allah semata.

 

VIDEO SAMBUTAN PERDANA MENTERI KANADA, WARGA, DAN ANAK-ANAK KANADA TERHADAP PENGUNGSI SURIAH

 

ATAU LIHAT VIDEONYA DI YOUTUBE

VIDEO SELAMAT DATANG DI KANADA

 

ATAU LIHAT VIDEONYA DI YOUTUBE

VIDEO TERIMAKASIH KANADA

 

ATAU LIHAT VIDEONYA DI YOUTUBE

Hikayat Khittah NU 1926

$
0
0

NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Kalimat ini begitu populer hingga sekarang setelah KH Achmad Siddiq menggunakannya untuk mengartikan Khitthah NU. Munculnya kalimat itu sangat erat dengan konteks sejarah yang melingkupinya, terutama pada sekitar tahun 1983-1984. Bagaimana asbabul wurud-nya?

Potongan-potongan sejarah tentang perjalanan NU tersebar di berbagai sumber. Ada yang tersurat dalam buku-buku tentang NU, ada yang terlukis dalam surat kabar, ada yang tertuang dalam cacatan-catatan pribadi, ada pula yang lestari melalui tutur kata orang per orang, dan ada juga yang terkunci dalam memori para pelaku sejarahnya.

Secarik kisah berikut tentu tidak bisa mewakili aspek historis lahirnya Khitthah NU 1926 secara menyeluruh. Namun setidaknya inilah proses peristiwa yang berhasil direkam oleh Aula dari rujukan-rujukan utama tentang Khitthah NU 1926.

Khitthah adalah satu kata dari Bahasa Arab yang berarti garis. Dalam NU, kata Khitthah pertama kali diungkapkan oleh KH Achyat Chalimi (Mojokerto) pada tahun 1954, ketika berlangsung Muktamar NU ke-20 di Surabaya. Kiai Achyat saat itu mengusulkan, “NU harus kembali ke Khitthah, agar tidak awut-awutan begini,” katanya. Namun usulan itu tidak disertai dengan konsep yang utuh, sehingga tidak mendapat banyak perhatian.

Kata Khitthah NU kemudian kembali menjadi perhatian nahdliyin pada Muktamar NU ke-26 pada tahun 1979 di Semarang. Dalam muktamar yang dilaksanakan pada 5-11 Juni 1979 itu, Sekjen PBNU waktu itu, KH Moenasir Ali, memesan buku berjudul Khitthah Nahdliyah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq dalam jumlah besar. Buku kecil itu kemudian dibagi-bagikan kepada peserta muktamar tapi tidak menjadi pembahasan muktamar.

Proses penulisan buku itu juga memiliki kisah tersendiri. Almaghfurlah KH A Muchith Muzadi, yang berperan dalam penulisan buku itu, pernah menuturkan secuil kisahnya kepad penulis. Menurutnya, sewaktu Kiai Achmad akan berangkat haji pada tahun 1978, banyak kiai dan pengurus NU yang diundang, termasuk Kiai Muchit. Saat itu Kiai Achmad memohon didoakan oleh para kiai sekaligus berceramah tentang NU pada masa lalu. Secara spontan Kiai Achmad dan para kiai meminta Kiai Muchith menulis isi ceramah itu.

Saat Kiai Achmad hendak berangkat dan transit di Surabaya, Kiai Muchith berkata: “Pak Achmad, ini catatan kemarin sudah jadi. Apakah mau ditinggal atau dibawa ke Makkah dan dikoreksi di sana?”. “Endi, tak gowo wae (Mana, aku bawa saja),” kata Kiai Achmad.

Setelah Kiai Achmad pulang ke tanah air, ternyata catatan itu sudah dikoreksi. Kemudian digarap lagi oleh Kiai Muchith, diserahkan, dikoreksi lagi dan begitu seterusnya. Sampai pada tahun 1979, setelah dianggap cukup, catatan itu kemudian diketik oleh Kiai Muchith dan diperbanyak hingga 10 eksemplar.

Draf itu memang rencananya dicetak menjadi buku. Namun sebelum Kiai Muchith mencari percetakan yang bisa diajak kerjasama, ternyata ada pegawai percetakan dari Bangil yang datang membawa cetakan percobaan. Ia mengaku mendapat draf buku itu dari Amak Fadholi yang secara kebetulan diberi salinannya oleh Kiai Muchith.

Akhirnya buku itu dicetak dengan judul Khitthah Nahdliyah. Buku kecil itu juga diberi catatan pengantar oleh Wakil Rais Am waktu itu KH Masjkur dan Ketua Umum (Ketum) PBNU waktu itu KH Idham Chalid. Sejak saat itu, kata Khitthah banyak dibicarakan orang. Dan buku inilah yang menjadi referensi utama untuk merumuskan Khitthah NU 1926 yang dibahas dan diputuskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 1983 dan Muktamar NU ke-27 tahun 1984.

Gejolak Organisasi

Khitthah NU 1926 sesungguhnya tidak hanya mengatur hubungan NU dengan partai politik. Tetapi secara historis, kelahiran Khitthah NU 1926 memang sangat dipengaruhi oleh realitas politik yang terjadi di Indonesia pada era awal 1980-an dan berdampak pada roda organisasi di tubuh NU.

Dalam konteks politik, NU pernah terjun ke dunia politik praktis dengan menjadi partai politik pada 1952. Setelah itu, Partai NU mengikuti dua kali Pemilu dan berhasil menjadi tiga partai politik terbesar di tanah air. Namun Partai NU dipaksa fusi pada tahun 1973 oleh pemerintah (Orde Baru) dengan dalih penyederhanaan partai. Sehingga hanya ada dua partai politik, yaitu PPP dan PDI serta Golkar (yang bukan partai politik tapi ikut Pemilu).

NU secara resmi menyatakan bergabung bersama umat Islam lainnya ke dalam PPP. Banyak pengurus NU yang merangkap sebagai pengurus PPP, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Bahkan Rais Am PBNU KH M Bisri Syansuri juga sekaligus menjabat Ketua Dewan Syura DPP PPP secara bersamaan. NU juga menempatkan beberapa tokohnya untuk menduduki kursi anggota legislatif, hasil Pemilu tahun 1977, baik di pusat maupun di tingkat daerah.

Pada muktamar ke-26 tahun 1979 di Semarang, suara untuk mengembalikan NU lepas dari partai politik sudah mulai terdengar. Salah satunya melalui buku berjudul Khitthah Nahdliyah yang ditulis oleh Kiai Achmad itu. Namun suaranya kurang menggema sehingga tidak bisa menjadi keputusan muktamar. Salah satu keputusan muktamar tersebut adalah memilih KH M Bisri Syansuri sebagai Rais Am yang menjabat sejak 1971 dan KH Idham Chalid sebagai Ketum PBNU yang memimpin sejak 1956.

Suasana berorganisasi kembali seperti semula. Said Budairy menceritakan dalam catatan pribadinya bahwa NU benar-benar mengalami krisis jati diri saat itu. “Sebagai organisasi politik sudah bukan, sedangkan merubah diri menjadi organisasi sosial keagamaan, baru berupa pernyataan. Prilaku masih tetap saja seperti masih sebagai partai politik. Kantor NU ramai dan sibuk hanya ketika menyongsong pemilihan umum. Ketika memasuki fase penyusunan calon untuk Pemilu, Ormas ini tiba-tiba saja persis seperti Parpol, repot banget menyusun daftar calon. Orang-orang berdatangan dari daerah. Khawatir susunan calon di daerahnya tidak sesuai dengan yang diinginkan”.

Keadaan ini diperparah dengan wafatnya Kiai Bisri pada tahun 1980. Kekosongan jabatan Rais Am PBNU berlangsung hingga satu setengah tahun kemudian. Baru pada bulan September 1981, posisi Rais Am PBNU dipercayakan kepada KH Ali Maksum melalui Munas Alim Ulama NU di Yogyakarta.

Namun gejolak di dalam internal NU belum berakhir. Bahkan perpecahan antara syuriah dan tanfidziyah semakin menjadi-jadi. Puncaknya, pada tanggal 2 Mei 1982, dua hari sebelum dilangsungkannya Pemilu, empat orang kiai dari jajaran Syuriah PBNU berkumpul di Jakarta dan mengunjungi KH Idham Chalid di rumahnya di Cipete, Jakarta. Mereka adalah KH Ali Maksum, KH Machrus Aly, KH As’ad Syamsul Arifin dan KH Masjkur.

Mereka meminta Kiai Idham untuk lebih aktif mengurusi PBNU. Namun Kiai Idham tidak memenuhi permintaan mereka karena alasan kesehatan. Lalu Kiai As’ad mengusulkan, bagaimana jika Kiai Idham menyerahkan jabatan Ketum PBNU kepada Rais Am PBNU. Kiai Idham mengiyakan, dan pada hari itu pula Kiai Idham menandatangani surat pengunduran diri yang sebelumnya sudah disiapkan oleh empat kiai tersebut.

Tidak lama kemudian, Kiai Idham mencabut pengunduran diri itu karena para kiai dianggap menyalahi konsensus di antara mereka. Sebab berita pengunduran diri itu sudah tersebar luas dan sudah diketahui oleh pers sebelum perhitungan suara hasil Pemilu 1982 selesai.

Kiai Idham kemudian menyampaikan pengumuman bahwa jabatan Ketum PBNU masih ada di tangannya. Kiai Idham juga menentukan daftar pengurus yang berhak menandatangani surat keluar. Anehnya, nama Kiai Maksum sebagai Rais Am tidak ada dalam daftar itu. Seakan-akan Ketum PBNU itu telah memecat Rais Am. Padahal di pihak lain, Kiai Ali Maksum sudah merasa bahwa jabatan Ketum PBNU sudah diserahkan kepadanya, sehingga ia merangkap sebagai Rais Am sekaligus Ketum PBNU.

Peristiwa itu mengakibatkan kepemimpinan NU terpecah menjadi dua. Gerbong Idham Chalid dikenal dengan istilah kubu Cipete dan gerbong Kiai Ali Maksum dikenal dengan kubu Situbondo. Dualisme kepemimpinan ini berlangsung hingga setahun kemudian. Sampai akhirnya untuk menyelesaikan konflik itu kubu Cipete berencana mengadakan muktamar dan kubu Situbondo hendak menggelar Munas Alim Ulama.

Di tengah-tengah dualisme kepemimpinan itu, para aktivis muda NU mengambil inisiatif yang berbeda. Mereka kerap mengadakan diskusi untuk mencari solusi atas gejolak tersebut. Adalah dr Fahmi D Saifuddin yang menjadi motor penggeraknya. Dia merangkul tokoh-tokoh muda yang waktu itu peduli terhadap nasib NU dan sudah menjauh dari kepentingan politik manapun. Pertama-tama dr Fahmi bertamu ke rumah Said Budairy di rumahnya yang ada di Mampang, Jakarta Selatan, dan mengajaknya bergabung. Setelah itu, bergabung juga Mahbub Djunaidi, M Zamroni, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Danial Tandjung, Slamet Effendi Yusuf, M Ichwan Sam dan sebagainya. Diskusi dan rapat paling sering digelar di rumah Said Budairy yang kemudian dikenal dengan Kelompok G, karena rumah Said Budairy terletak di gang G.

Hasil diskusi-diskusi kecil itu semakin kongkret. Salah satunya adalah menggelar forum diskusi yang lebih besar dengan mengundang 24 tokoh NU dari berbagai daerah. Mereka adalah KH MA Sahal Mahfudz (tidak sempat hadir), KH Musthofa Bisri, KH M Moenasir Ali, KH A Muchith Muzadi, Gus Dur, KH Tholchah Hasan, Dr Asep Hadipranata, Mahbub Djunaidi, M Zamroni, dr Muhammad Thohir, dr Fahmi D Saifuddin, M Said Budairy, Abdullah Sjarwani, SH, M Saiful Mudjab, Umar Basalim, Drs H Cholil Musaddad, Gaffar Rahman, SH, Slamet Effendy Yusuf, M Ichwan Syam, Musa Abdillah, Musthofa Zuhad, M Danial Tanjung, Ahmad Bagdja dan Masdar F Mas’udi.

Diskusi yang membahas tentang NU masa depan itu kemudian dikenal dengan Majelis 24 karena pesertanya berjumlah 24 orang. Mereka berdiskusi pada 12 Mei 1983 di Hotel Hasta Jakarta. Pertemuan itu dilakukan dengan fasilitas yang sangat sederhana. Penyelenggara hanya menyewa ruangan dengan suguhan minuman dan kacang goreng. Malah waktu makan siang, semua peserta mencari makan di trotoar depan hotel. Pertemuan berlangsung sampai malam dan setelah pertemuan selesai, semua pulang ke tempat masing-masing.

Meskipun singkat dan penuh keterbatasan, tapi hasilnya sangat penting. Majelis 24 sepakat membentuk tim yang diberi nama Tim Tujuh Pemulihan Khitthah NU. Anggota tim ini diberi tugas untuk menyusun rumusan Khitthah NU 1926. Sedangkan acuan pokok tentang Khitthah NU adalah buku Khitthah Nahdliyah dan Fikrah Nahdliyah karya KH Ahmad Siddiq.

Kelompok ini disebut Tim Tujuh karena beranggota tujuh orang. Mereka terdiri dari Abdurrahman Wahid (ketua), M Zamroni (wakil ketua), M Said Budairy (sekretaris), Mahbub Djunaidi, dr Fahmi D Saifuddin, M Danial Tanjung dan Ahmad Bagdja (anggota).

Akhirnya Tim Tujuh berhasil menyusun rumusan Khitthah NU 1926 sebelum dilaksanakannya Munas Alim Ulama NU pada 18-21 Desember 1983. Rumusan tersebut kemudian menjadi pembahasan dan disahkan dalam Munas Alim Ulama tahun 1983 di Situbondo. Setelah mengalami beberapa koreksi dari peserta Munas, Khitthah NU 1926 disahkan menjadi keputusan muktamar melalui Komisi Khitthah.

Oleh: A. Afif Amrullah, Redaktur pelaksana Majalah Aula dan Dosen FAI Unsuri Surabaya.

NU Bukan Salafi Wahabi yang Tekstualis, Takfiri yang Radikalis, dan Liberal yang Mengubah Nash

$
0
0

Tradisi ulama sejak dulu ada dua, yaitu: Pertama, menyiapkan orang yang paham ilmu agama dan melakukan perbaikan, baik dengan dakwah maupun perang/ perjuangan (i’dad al mutafaqqihin wa al mushlihin da’watan wa qitaalan). Kedua, menjaga dan memperbaiki umat, baik aspek agama maupun kemasyarakatan (himayat al ummah wa ishlahiha diiniyyatan wa ijtima’iyyatan).

Tradisi ini harus dijaga, tidak boleh terputus, agar umat tidak menjadikan pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang memberikan statemen tanpa ilmu, hingga mereka pun sesat dan menyesatkan, seperti diingatkan dalam hadits.

Sekarang tidak ada perang. Tapi spirit ini harus dijaga di pesantren, bahwa cinta negara merupakan bagian iman.

Umat harus dijaga dari aliran sesat dan pemikiran menyimpang. Maslahat yang tidak bertentangan dengan syariat diakomodasi oleh syariat. Idza wujidat mashlahah lam tu’aridih an nash fa tsamma syar’ullah (jika terdapat mashlahat yang tidak bertentangan dengan nash maka di sana terdapat syariat Allah). Ini berbeda dengan kelompok liberal yang membatalkan nash demi mashlahat (naqdh nash bi al mashlahah). Beristri lebih dari satu kata orang liberal berlawanan dengan maslahat, akhirnya nashnya dibatalkan.

Sayyidina Umar dalam pendapat beliau di masanya, bukan membatalkan nash dengan mashlahat, namun tahqiq al manaath, atau verifikasi tentang relevansi teks.

NU mengakomodasi tradisi selagi tidak bertentangan dengan nash. NU tidak seperti Salafi-Wahabi yang tekstualis, tidak seperti kelompok takfiri yang radikalis, tidak seperti liberal yang mengubah-ubah nash.

Saya mengajak mari paradigma kita selama ini ditambah. Pertama, ada al muhafazhah ‘ala al qadiim al shaalih, lalu kedua, al akhdzu bi aljadid al ashlah. Dua paradigma ini sudah tepat. Saya menambahkan yang ketiga: melakukan al ashlah ila maa huwa al ashlah, tsumma al ashlah fa al ashlah. Mengapa? Karena yang sekarang paling maslahat, boleh jadi besok tidak jadi yang ashlah lagi. Jadi ada perbaikan terus.

Problem kita saat ini, banyak dalam jumlah tapi sedikit dalam peran (katsir fi al jumlah qalil fi ad daurah).

Salah satu karakter NU itu dinamis (tathawwuri), bukan tekstualis dan tidak liberalis, tapi metodologis (manhaji).

Islam Nusantara hanya casing atau bungkus. Isinya ya Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah an Nahdliyyah, Aswaja ala NU. Saya tambah lagi: maa ‘alaihi al muassissun (Aswaja NU sesuai yang dijelaskan oleh para pendiri organisasi).

(Disampaikan oleh Rais Aam PBNU Dr. KH. Ma’ruf Amin pada acara Seminar Nasional Ittiba’ Ulama: Meneguhkan Aqidah Merawat Tradisi, Agenda Pra Haul KH. Abdul Hamid Pasuruan, di PP Bayt al Hikmah asuhan Gus Idris Hamid, pada 20 Desember 2015. Dialihtuliskan oleh Ustadz Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I., Tim Tutor Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur/ Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya).


Ulama Saudi Berfatwa Bid’ah, Warga Makkah dan Madinah Tetap Peringati Maulid Nabi di Rumah

$
0
0

Berikut adalah hasil obrolan dengan salah satu penduduk Makkah yang bernama Muhammad Nu’aimi. Dalam perbincangan itu, beliau menyatakan bahwa semua penduduk Makkah dan Madinah mengadakan Haflah Maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam di dalam rumah mereka masing-masing, meskipun fatwa ulama mereka di Arab Saudi tidak membolehkannya.

Fatwa Ulama Saudi yang manganut fahaman Wahabi Salafi seperti Syaikh Utsamain dan Bin Bazz yang menyatakan Maulid Nabi adalah Bid’ah, ternyata tidak membuat warga penduduk Makkah dan Madinah mengurungkan niatnya untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Dikatakan oleh Muhammad Nu’aimi sebagaimana dilansir FB Majlis Al Haramain, ada beberapa alasan kenapa penduduk Makkah dan Madinah tetap bersikukuh merayakan Maulid Nabi di rumah, diantaranya disebutkan:

Muhammad Nu'aimi, Penduduk Makkah al Mukarromah

Muhammad Nu’aimi, Penduduk Makkah al Mukarromah

  1. Andaikan tidak ada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, kita tidak bisa masuk surga karena semua amal ibadah yang mengajarkan adalah Sayyidina Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
  2. Anak cucu kita mengetahui sejarah Nabi dari Haflah Maulid Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
  3. Orang yang tidak suka Maulid Nabi dan mengatakan Bid’ah rata-rata tidak ada Nur cahaya keteduhan di muka/ wajahnya.
  4. Ketua Takmir Masjidil Haram yang sekarang yakni Syaikh Abdullah Al Maliki sangat senang dengan Maulid Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
  5. Sementara Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak senang dengan adanya Maulid Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
  6. Allah Subhanahu wa Ta’ala, tuhan kita yang memulai bersholawat kepada Nabi, dan semua malaikat dan Allah menyuruh kita untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
  7. Di Makkah sendiri sebenarnya banyak yang Asyraf/ Dzurriyyah/ Keturunan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
  8. Dan setiap 2 bulan yakni bulan Rabi’ul Awwal sampai Rabi’ul Akhir, saya (Muhammad Nu’aimi) selalu membeli manisan dan saya (Muhammad Nu’aimi) bagi-bagikan kepada keluarga (dalam rangka menyambut Maulid Nabi).

Dan di bawah ini adalah video penyambutan Maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awwal oleh warga Arab Saudi:

ATAU LIHAT VIDEONYA DI YOUTUBE

ATAU LIHAT VIDEONYA DI YOUTUBE

Hari Ibu, Inilah Kondisi Terkini Makam Ibunda Rasulullah Sayyidah Aminah

$
0
0

Foto seseorang yang disertakan pada gambar di samping merupakan pakar Sejarawan asal Somalia yang bernama Dr. Hassan Sheikh Hussein Osman, yang berhasil memasuki kawasan yang masuk dalam “restricted area” (daerah terlarang) untuk dikunjungi. Tepatnya berada di sebuah desa bernama “Abwa”, terletak 230 km di sebelah Utara kota Makkah. Beliau mengunjungi kawasan terlarang tersebut pada 27 Agustus 2015.

Tahukah anda tentang kawasan terlarang itu?

Itu adalah kawasan sebuah area dimana Sayyidah Aminah, Ibunda Sayyidina Muhammad Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dimakamkan. Adapun makam Sayyidah Aminah berada pada bagian area yang berwarna gelap, posisinya di belakang Dr. Hasan (lihat Foto, yang diambil pada 27 Agustus 2015). Tanahnya lebih gelap akibat sisa-sisa tumpahan miyak yang membekas di area makam tersebut.

Di dalam peta, Anda dapat melihat dan mengetahui pasti posisi letak makam Ibunda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam melalui koordinat GPS: 23°06′33″N 39°05′40″E.

Foto tersebut di atas merupakan kondisi terkini makam dari seorang Ibu yang telah melahirkan sosok manusia terbaik di alam semesta ini, makam Ibunda Rasulullah, yang kini tidak terawat, terbengkalai, dan bahkan dijadikan sebagai area terlarang untuk dikunjungi. Sebagaimana terlihat dalam foto, makam Ibunda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sekarang nyaris tidak dapat dikenali, sebab pada tahun 1998, entah karena alasan apa, situs tersebut dihancurkan dan diratakan dengan menggunakan Bulldozer oleh Wahabi. Sebelum diratakan, makam Sayyidah Aminah diberi tumpahan minyak terlebih dahulu dengan tujuan untuk menghinakan Sayyidah Aminah dan juga agar tempat itu dijauhi orang-orang sehingga tidak lagi dikunjungi. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kini sisa-sisa tumpahan minyak itu masih membekas di area makam seperti yang terlihat pada foto kunjungan Dr. Hassan Sheikh Hussein Osman.

Dan berikut kami sertakan sekelumit kisah sebagaimana diceritakan oleh  Dr. Hassan Sheikh Hussein Osman saat berziarah ke makam Sayyidah Aminah:

“Aku melakukan pendakian terakhir dari gunung ini (kawasan Abwa) dimana makam Sayyidah Aminah berada pada tanggal 12 Dzulqo’dah 1436 H (atau 27 Agustus 2015). Kami membersihkan sisa-sisa tumpahan minyak mesin yang terdapat pada makam dengan menggunakan semprotan air sebanyak 10 liter air. (Catatan: Jadi, area makam Sayyidah Aminah adalah pada bagian yang berwarna gelap, posisinya di belakang Dr. Hasan –red). Kemudian kami menanam sebatang pohon (yang tahan dan tidak memerlukan air dalam jangka waktu sebulan). Aku menanam pohon tersebut pada bagian kiblat dari makam. Kami menyemprotkan 1 botol minyak wangi Attar (Kasturi) di atas makam. Setelah itu, kami memperkenalkan diri kepada sayyidah Aminah, memberi salam kepadanya, dan berterima kasih kepadanya karena telah melahirkan junjungan yang mulia Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Kemudian kami membaca surat Yasiin, membaca surat al-Ikhlash 11 kali, Alhamdulillah, dan berdoa. Setelah itu kami pergi.

Saat hendak pergi, seorang Polisi berpangkat sersan beserta seorang warga sipil mendaki gunung dan mencari-cari keberadaan kami, lalu mereka menegur dan meminta informasi pribadi termasuk juga paspor kami. Dengan wajah marah, Sersan yang pembohong itu mengatakan pada kami bahwa itu adalah makam seorang Pakistan. (Catatan: Berdasarkan literatur “backpack” saya, memang biasanya yang ‘bandel’ dan sering mengunjungi makam tersebut adalah orang Pakistan, jadi sepertinya Polisi tersebut sedang berusaha mengkamuflasekan makam Sayyidah Aminah sebagai makam orang Pakistan –red). Warga sipil yang ikut dengan polisi tersebut juga banyak berbicara tentang “syirik” dan bertanya apa yang telah kami tinggalkan (lakukan) di makam tersebut, apalagi setelah mengetahui bahwa aku memiliki Attar. Tidak ada tanda-tanda umum pelarangan mengunjungi tempat ini, bagaimana seseorang akan tahu kalau tempat ini dilarang? Cukuplah pengalamanku dengan dua orang ini”.

Sayyidil Habib Umar bin Hafidz dari Hadhramaut Yaman ketika menceritakan detik-detik wafatnya Ibunda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menjadi sangat begitu sedih sampai tidak mampu membendung air matanya dan menangis tersedu-sedu. Beliau berkata, “Jika Aminah tidak selamat, maka tak ada seorang pun di hari pembalasan yang akan selamat! Tidak ada seorang pun di hari pembangkitan akan selamat!”.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan dan menjaga aqidah kita, keluarga dan keturunan kita, untuk tetap berpegang teguh pada aqidah ahlussunnah wal jamaah. Dan silahkan simak kisah haru detik-detik terakhir wafatnya Ibunda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersama Habib Umar bin Hafidz selengkapnya melalui video berikut ini:

VIDEO DETIK-DETIK WAFATNYA IBUNDA RASULULLAH SAW OLEH HABIB UMAR BIN HAFIDZ

ATAU LIHAT VIDEONYA DI YOUTUBE

 

VIDEO MAKAM IBUNDA RASULULLAH SAW SEBELUM DIRATAKAN OLEH WAHABI

ATAU LIHAT VIDEONYA DI YOUTUBE

 

Warga negara Pakistan yang tetap membandel berziarah ke makam Sayyidah Aminah

Foto lama makam Sayyidah Aminah. Tampak warga Pakistan yang tetap membandel berziarah ke makam Ibunda Rasulullah SAW


 
Peta Abwa Hijaz dimana makam Sayyidah Aminah berada.

Peta Abwa Hijaz dimana makam Sayyidah Aminah berada (lingkaran merah).

 

(Foto dan kisah perjalanan Dr. Hassan Sheikh Hussein Osman ditulis ulang oleh Ahmad Ulul Azmi InsanTafdi, Jakarta, 20 Desember 2015, 22:15 WIB)

Syair Maulid Burdah Hiasi Kunci Pintu Makam Rasulullah

$
0
0

Ini adalah gambar foto pintu akses masuk ke Makam Nabi Muhammad Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Pintu ini berada di timur Makam, tepatnya berada di bagian rumahnya Sayyidah Fathimah Radhiyallahu ‘Anha, sehingga pintu ini juga dinamakan Pintu Sayyidah Fathimah Radhiyallahu ‘Anha. Coba perhatikan dengan seksama gambar foto tersebut. Tampak pintu makam Nabi dikunci dengan sebuah gembok yang bertuliskan kaligrafi Arab.

Tahukah Anda tulisan kaligrafi apa yang terdapat pada gembok makam Nabi Muhammad Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam itu?

Itu adalah penggalan syair Qosidah Maulid Burdah buah karya Imam al-Bushiri Rahimahullah. Bagi umat Islam yang biasa mengikuti dan melantunkan Maulid Burdah maka tidak akan asing lagi dengan tulisan kaligrafi yang menempel pada gembok makam Rasulullah itu. Berikut bunyinya:

هو الحبيب الّذي ترجى شفاعته – لكلّ هول من الأهوال مقتحم

Huwal habibul ladzi, turja syafa‘atuhu – Li kulli haulin minal ahwali muqtahimi.

Yang artinya:

“Dialah (Nabi Muhammad SAW) sang kekasih yang syafaatnya dinanti senantiasa – (Dalam menghadapi) segala derita dan petaka yang menerpa”.

HAPPY MAWLID NABI 12 RABI’UL AWWAL 1437 H/ 24 DESEMBER 2015

Inilah Teks Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam pada Munas NU 1983

$
0
0

Banyak di antara ulama NU seperti KH Wahid Hasyim, KH Masykur dan lain sebagainya menjadi anggota BPUKPI yang bertugas merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar. Dengan sendirinya mereka ikut dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu NU membela hasil kesepakatannya sendiri saat Indonesia dihadang oleh berbagai pemberontakan yang hendak mengganti NKRI. Tetapi celakanya di tangan Orde Baru Pancasila telah menjadi alat politik yang menentukan, sebagai sarana untuk mendiskiminasi dan menstigma kelompok lain. NU setia pada Pancasila karena itu menolak segala penyimpangan penafsiran dan pengamalan Pancasila serta penerapan di luar batas seperti itu.

Sebagai salah satu perumus Pancasila, NU menolak penafsiran tunggal Pancasila yang dimonopoli Orde Baru melalui P4 dan sebagainya. Pancasila harus diletakkan sebagai dasar negara menjadi milik bersama sebagai falsafah bangsa. Ketika Orde Baru mendesak semua organisasi tidak hanya organisasi politik, tetapi juga organisasi kemasyarakatan untuk menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka banyak organisasi yang curiga, enggan dan menolak, terutama ormas keagamaan, tidak hanya Islam tetapi juga agama yang lain. Melalui pembicaraan yang intensif antara KH. As’ad Syamsul Arifin dan juga KH Ahmad Siddiq dengan Presiden Soeharto bahwa Pancasila tidak akan menggeser agama dan agama tidak akan dipancasilakan, maka NU mau menerima Pancasila sebagai asas organisai, tanpa harus meninggalkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar akidahnya.

Kemudian penerimaan itu dirumuskan dalam sebuah piagam yang sangat komprehensif dan konklusif dalam sebuah Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Deklarasi penting itu dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983. Pernyataan NU dianggap kontroversial dan menggemparkan saat itu. Bagi yang tidak tahu argumennya akan menentang, tetapi yang mengerti argumennya yang begitu rasional dan sistematis serta proporsional itu banyak yang tertegun dan simpati.

Tidak sedikit kalangan ormas Islam yang lain berterima kasih pada NU yang mampu berpikir cerdik dan strategis dalam memecahkan persoalan sangat pelik yakni hubungan agama dengan Pancasila, tetapi dengan kecemerlangannya NU mampu meletakkan hubungan yang proporsional antara agama dan Pancasila, sehingga mereka bisa menerima Pancasila secara proporsional pula. Bahkan agama-agama lain merasa sangat berterimakasih pada NU atau kemampuannya merumuskan hubungan Agama dengan Pancasila melalui argumen yang rasional dan mendasar baik secara syar’i maupun secara siyasi.

Ketika undang-undang mengenai penerapan asas tunggal diberlakukan pada tahun 1985, maka jalan yang dirintis NU telah mulus, sehingga hampir semua ormas besar dan agama-agama remi menerimanya. Hanya beberapa ormas Islam sempalan yang masih menentang Pancasila. Itulah jasa besar NU dalam menegakkan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara Republik Indonesia serta dasar bagi ormas yang ada. Berikut bunyi lengkap deklarasi fenomenal tersebut:

Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam

Bismillahirrahmanirrahim

  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
  4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
  5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama
Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H
(21 Desember 1983)

Oleh: NU Online.

Islam Nusantara Sebagai Produk Gerakan Dakwah Jalur Kultur

$
0
0

Alhamdulillah, serangkaian tour dakwah KH. Ma’ruf Khozin di Pontianak dalam rangka membumikan paham-paham keislaman ala manhaj ahl sunnah wal jama’ah telah sukses dan lancar. Hal ini terbukti dengan terlaksananya berbagai macam majlis ta’lim yang beliau isi selama dauroh ini. Alhamdulillah, penulis sempat hadir dalam sebuah pengajian yang mungkin terakhir dari rangkain tournya di bumi khatulistiwa. Pada pengajian kali ini beliau menyampaikan sebuah materi yang cukup urgen untuk di bicarakan dan di diskusikan dengan singkat. Materi yang mula-mula beliau sampaikan adalah rumusan genealogi terbentuknya Islam Nusantara sebagai sebuah corak keislaman produk akulturasi antara nilai universal Islam dengan nilai tradisi lokal.

Dakwah dan Pengaruh Atas Terbentuknya Paham Keagamaan

Dalam pemaparan pertama ini, beliau berusaha mengungkapkan hakikat makna Islam Nusantara ini dengan melakukan pembagian peta dakwah yang diberikan oleh Rasulullah kepada para sahabat. Pada waktu itu, ada dua jalur dakwah yang harus ditempuh oleh umat Islam dalam rangka menyebarkan Islam. Pertama gerakan dakwah jalur jihad. Yang kedua adalah gerakan dakwah garis kultur.

Gerakan dakwah dengan versi pertama, dilancarkan ke wilayah yang masih berada dalam cengkeraman kekaisaran Persia dan Romawi. Daerah-daerah ini ini seperti Iraq, Persia, Damaskus dan lain sebagainya. Namun, ada beberapa daerah yang waktu itu dikuasai oleh Islam bukan dengan jalur ini, tapi melalui jalur kulturalisasi dan pribumisasi. Islam yang lahir dengan proses dakwah pertama ini lahir dengan corak Islam yang sarat dengan nuansa Arab. Hal ini di karenakan masuknya Islam ke daerah ini melalui jalur “pemaksaan” nilai ke dalam tradisi lokal melalui jalur peperangan. Jalur peperangan dan penaklukan inilah yang merupakan fondasi pembentuk pola keislaman untuk selanjutnya di wilayah produk dakwah pertama.

Corak dominan yang menjadi ciri khas keberislaman di daerah ini adalah timbulnya mode pembumian nilai universal Islam dengan upaya menonjolkan corak formalitas keberagamaan. Sementara di sisi lain, nilai Islam secara hakiki hanya terbungkus dalam bingkai formalitas itu. Hal ini dikarenakan cara masuknya nilai Islam untuk yang pertama kali di daerah seperti ini melalui jalur penaklukan, dan berbicara mengenai penaklukan maka siapa yang menang dialah yang akan berkuasa. Dengan sistem demikian, tampaklah bahwa pada era keterbentukan basis Islam di daerah itu kental dengan warna formalitas seperti tata cara berpakaian dan sebagainya. Pada akhirnya pengaruh paham keberagamaan yang seperti ini juga merambah dalam dunia ideologi mereka. Yang mana nilai-nilai formalitas dalam beragama harus selalu dikedepankan, sementara hal-hal yang bersifat substansif tidak begitu menarik bagi mereka.

Corak keberislaman yang lebih mengedepankan sisi formalitas ini pada akhirnya juga merambah ke dalam tata cara beragama dan berbangsa mereka. Seperti menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi dasar negara. Karena formalitas agama bagi mereka sangat penting dikedepankan demi izzul Islam wal Muslimin. Maka negara pun dijadikan sebagai sebuah wadah untuk menghidupkan nilai Islam secara formalitas. Namun secara substansif pergerakan nilai Islam di dalamnya belum tentu lahir. Maka tak heran, di negara dengan pola keagamaan yang demikian, banyak lahir pertentangan dan pertikaian sesama muslim. Hal ini dikarenakan masing-masing dari satu paham keislaman yang mengedapnkan formalitas berusaha berjuang untuk mengedapankan bahwa cara keislaman merekalah yang lebih unggul untuk di jadikan sebagai ideologi ideal dalam beragama dan bernegara.

Hal ini dapat kita lihat di negara-negara yang menjadikan Islam sebagai ideologi bernegara telah dikuasai oleh salah satu dari sekian corak keislaman yang ada di negara itu, seperti Arab Saudi, dimana secara ideologi keagamaan di kuasai oleh dinasti Bani Sa’ud yang notabene bercorak puritan ala Wahabi dengan madzhab Hanbali. Kita dapat melihat bagaimana keadaan muslim yang tidak sepaham dengan tata cara beragama dinasti yang menguasai mereka. Ulama-ulama yang tidak sepaham dengan Wahabi ini pada akhirnya terus menerus dikucilkan dan dirampas hak agamanya. Penindasan dan perampasan hak terus mereka lakukan atas nama negara dan agama. Di sinilah fenomena riilnya. Dimana Arab Saudi di bawah kekuasaan Bani Saud mengekang berkembangnya ajaran Islam yang tidak sepaham dengan ideologi puritan mereka.

Begitu juga yang terjadi di Iran dan Iraq, dimana dua wilayah ini berada di bawah naungan kekuasan Islam berideologi Syiah. Kita dapat melihat bagaimana nasib warga muslim yang berpaham Islam ala sunni. Mereka dirampas hak agamanya dan dikekang sedemikian rupa. Pembantain saudara sendiri pun tak dapat dihindarkan. Inilah yang terjadi di wilayah Islam yang umat muslimnya bersikeras memahami Islam dalam bingkai formalitas yang kaku. Dan masih banyak kasus yang bisa dijadikan contoh akibat adanya pemaksaan nilai baku formalitas Islam ke dalam sebuah negara. Hal ini semuanya diakibatkan adanya pemaksaan doktrin keagamaan Islam yang partikular ke dalam pluralitas pemahaman yang ada dalam satu negara. Dikatakan partikular, tak lain karena terjadinya perbedaan pemahaman dan tata cara beragama yang terjadi di dalam dunia Islam saat ini. Maka bila satu dari sekian paham itu berusaha bersaing meraih kekuasaan tertinggi atas nama Islam, maka sesungguhnya bukanlah Islam yang ingin mereka tampilkan, tapi golongan dan tata cara beragama mereka yang mereka kedepankan.

Islam Nusantara = Produk Dakwah Garis Kultur

Kalau corak keislaman sebagaimana disebutkan di atas lahir dari rahim Islam yang tersebar karena proses penaklukan, maka jalur dakwah kedua yakni jalur dakwah kultural telah memproduksi warna keislaman yang berbeda dengan corak yang pertama. Dakwah kultural ini tersebar ke berbagai wilayah yang waktu itu belum tersentuh dengan berbagai peradaban. Baik peradaban Persia maupun Romawi. Dengan kata lain wilayah yang masuk dalam peta dakwah kedua ini notabene daerah yang masih murni berpegang pada tradisi agama primitif atau Hindu-Budha. Agama primitif adalah agama yang orientasi keagamaanya masih sangat erat dengan format tradisi yang ada dalam satu naungan lokalitas. Jadi secara sederhana agama ini masih sangat konservatif dan diisi oleh kaum yang masih jauh dari sentuhan peradaban kemajuan. Agama seperti ini tentu sangat berbeda cara menghadapinya daripada menghadapi agama Nasrani, Yahudi, Zoroaster dan sebagainya yang sudah menjadi agama di kota-kota berperadaban tinggi. Maka tak heran untuk berdakwah dan mengislamkan mereka, Islam harus dapat melakukan sebuah terobosan agar dapat menemukan eksistensinya. Sebab bila wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan emperium Persia-Romawi itu tidak dibebaskan, maka keserakahan dua emperium ini akan semakin menjadi-jadi hingga akhirnya agama Islam pun akan musnah di bawah kekuasaan mereka. Jadi pilihan dakwah dengan metode Jihad seperti ini memang sangat diperlukan dan relevan dalam rangka membebaskan umat dari belenggu imperial. Dan hal ini juga bijak dilakukan demi tegaknya Islam.

Untuk daerah yang belum tersentuh keserakahan dua imperium ini, Islam mengajarkan sebuah metode dakwah kultural sebagai jalan untuk membimbing mereka dengan lembut. Dakwah ini lumrahnya dilakukan oleh para ulama-ulama, pedagang, da’i, sufi dan petualang Muslim ke daerah-daerah yang dalam dunia peradaban masih sangat primitif. Inilah nantinya yang akan membentuk formasi ontologis dan operasional epistemik untuk menentukan “warna Islam” yang lahir di Nusantara. Mengingat Nusantara adalah salah satu wilayah yang masuk dalam peta dakwah kultural, maka secara otomatis memiliki warna berbeda dengan realitas Islam yang berkembang di wilayah yang di lalui jalur Jihad dan penaklukan.

Warna Islam yang lahir di Nusantara sangat erat dengan nusansa sufistik. Hal ini sangat wajar karena adanya beberapa asumsi historis yang mengatakan bahwa: Islam di Indonesia pertama kali di bawa bukan oleh pedagang dari Arab, tapi oleh para Sufi dari Persia, India dan Gujarat. Ini dikuatkan dengan lahirnya corak Fiqh-Sufistik yang berkembang melalui lembaga dunia pesantren. Sebuah lembaga keagamaan yang tertua dalam sejarah Islam Indonesia. Maka kita masih menemukan sampai sekarang kajian kitab Bidayat al-Hidayah, Ihya’ Ulum ad-Din, Nasho’ih al-Ibad, Sabil al-Muhtadin dan sebagainya di dunia pesantren. Semua kitab itu bercorak fiqh sufistik ala Imam Ghazali. Kitab itu bukan hanya di kaji zaman sekarang, tapi jauh sebelum sejarah mencatat, bahwa kitab ini sudah menjadi bahan kajian wajib di dunia Pesantren. Pandangan sejarah yang demikian itu antara lain juga diprakarsai oleh KH. Abdurrohman Wahid atau Gus Dur dengan dukungan pakar sejarah lainnya. Dari sinilah kita dapat membaca bentuk formasi Islam Nusantara yang di perkenalkan oleh Nahdatul Ulama.

Formasi Ontologis Islam Nusantara

Setelah dipaparkan peta dakwah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada sahabat dalam menyebarkan Islam. maka nampak jelaslah bahwa Islam Nusantara adalah sebuah terminologi sederhana untuk menggambarkan secara komprehensif realitas Islam yang berkembang di Nusantara. Adapun formasi dasarnya adalah kenyataan logis sejarah dakwah yang telah melahirkan Islam di Bumi Nusantara sebagaimana dijelaskan dengan baik oleh KH. Ma’ruf Khozin di atas bahwa Islam di Nusantara adalah sebuah Islam yang mempunyai warna dan corak berbeda dari belahan dunia Islam lainnya. Corak keislaman di Indonesia sebagaimana dijelaskan oleh Gus Dur adalah mode keislaman yang dipenuhi dengan warna Fiqh-Sufistik.

Ini adalah hal yang sangat unik, dimana nilai-nilai formalitas Islam dibungkus rapi dengan nuansa Tasawuf. Jadi formalitas keagamaan yang dijalani oleh muslim Indonesia tidaklah hanya didominasi nuansa eksoterik tapi juga dipenuhi dengan warna esoteris. Begitu juga dalam ranah berbangsa dan berbudaya, Islam menyelipkan diri sebagai sebuah nilai fleksibel dan universal dalam kehidupan muslim Indonesia. Dari sini nampaklah bahwa Islam yang berkembang di Indonesia lahir dalam bingkai formalitas dan substansif yang seimbang. Umat Islam Indonesia tidak pernah memaksakan ideologi Islam sebagai ideologi negara secara formalitas. Tapi membiarkan nilai-nilai Islam terus tersemai dengan subur secara substansif dalam kehidupan sehari-hari. Buktinya sampai sekarang Islam tetap menjadi agama dominan di Indonesia.

Wajah keislaman Indonesia ini sangat tampak dengan adanya dunia pesantren sebagai basis keberislaman khas Indonesia. Pesantren adalah sebuah lembaga keagamaan tradisional yang di dalamnya nilai-nilai keisalaman Nusantara berangkat. Dunia pesantren sampai saat ini masih dikenal sebagai lembaga keagamaan yang menampilkan nilai Islam secara formalisitis dan subsatnsif. Maka tak heran kalau pemikir-pemikir tradisional-modern menjadikan pesantren sebagai wahana komprehensif dalam menelaah realitas Islam yang berkembang di Indonesia.

Inilah karakteristik yang membedakan antara Islam yang berkembang di wilayah selain Nusantara. Dimana nilai substansif dapat menjiwai aliran tradisi yang berkelindan dalam kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia. sedangkan aspek formalitas yang berlebihan tidak begitu menarik bagi mereka. Mari kita lihat santri-santri yang berasal dari dunia pesantren, mayoritas tidak terjebak dalam bingkai formalitas yang berlebihan ini.

Lantas Kenapa Islam Nusantara ini Diwacanakan?

Dengan pemaparan di atas, tampaklah bahwa Islam Nusantara bukanlah sebuah aliran atau sebuah paham yang patut dicurigai bahkan disesatkan dengan berbagai argumen. Karena kajian seperti ini sebenarnya sudah selesai sejak lama. Fakta sejarah bahkan membuktikan kepada kita bahwa Islam Nusantara adalah sebuah terminologi untuk menggambarkan corak komprehensif dan kompatibel dengan fakta Islam yang berkembang di Nusantara.

Lantas kenapa akhir-akhir ini terminologi Islam Nusantara ini di wacanakan? Terutama setelah menjadi tema akbar dalam Muktamar Nahdatul Ulama kemarin, Istilah ini terus saja di baca dan di telaah. Bukankah kalau sebagaimana pemaparan diatas “Islam Nusantara” tak lebih dari sekedar Istilah? Tapi bagaimana mungkin terminologi lantas mengundang pro dan kontra di publik?.

Jawaban untuk pertanyaan yang pertama “alasan kenapa Islam Nusantara ini diwacanakan” adalah: bahwa melihat fakta pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia saat ini. Tak bisa dipungkiri bahwa dunia pemikiran dan pemahaman kita saat ini tengah terhimpit oleh dua blok aliran pemikiran. Yang pertama pemikiran ekstrim kanan yang dalam hal ini di wakili oleh Wahhabi, sebagai sebuah gerakan ideologi puritan khas Arab. Sedangkan yang kedua adalah gerakan ekstrim kiri terejawantahkan dalam pemikiran liberal-sekuler. Sebuah produk pemikiran yang banyak mengimpor tradisi berfikir gaya Barat. Dua pemikiran ini sama-sama tertolak di Indonesia karena terjadinya ambivalensi dengan budaya dan tradisi berfikir setempat.

Dua kutub yang sama-sama mencoba menawarkan pemikiran baru terhadap cara beragama di Indonesia ini sering kali hanya mengganggu stabilitas berfikir umat. Bukan menyelesaikan masalah, tapi kadang hanya menambah perbendaharaan masalah. Dari sinilah Nahdatul Ulama sebagai sebuah ormas Islam terbesar di Indonesai mencoba melakukan ikhtiar mencari jalan keluar dari dua kutub ekstrim ini. Islam Nusantara sebagai sebuah terminologi ditawarkan sebagai sebuah paradigma baru yang dianggap kompatible dalam rangka merealisasikan dan mengembalikan warna Islam yang khas Indonesia. jauh dari pengaruh ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Inilah alasan mengapa Islam Nusantara mengundang para pemikir muda Muslim untuk menggelontorkannya ke dalam tataran pemahaman Islam di Indonesia.

Sedangkan jawaban untuk pertanyaan fundamental kedua “lantas kenapa hanya terminologi lantas mengundang pro dan kontra?, bukankah sebuah istilah tidak lebih dari sekedar itu?, dalam artian, kalau ia hanya nama dari sebuah realitas yang sudah berkembang sejak lama, kenapa lantas banyak terjadi kontra konsepsi terhadap terminologi ini?”: adalah bahwa, jika sebuah terma dijadikan sebuah paradigma bergerak dan befikir, maka ia memerlukan metodeologi operasional yang tepat. Kali ini Islam Nusantara sudah bukan lagi sekedar terminologi yang hampa. Tapi ia sudah beranjak menjadi sebuah paradigma baru yang di tawarkan oleh pemikir Muslim Indonesia dalam rangka meminimalisir ideologi transnasional yang masuk ke dalam Indonesia dan di terapkan di Indonesia secara tidak proporsional. Dan oleh karena itu, ketika “Islam Nusantara” sudah terikat dengan metodologi operasional layaknya sebuah paradigma, maka ia pun tak dapat lagi melepaskan diri dari berbagai sentuhan pemikiran yang mencoba menawarkan sistem operasional penerapannya. Nah, dalam ranah inilah lahirnya dialektika pemikiran yang tak akan pernah terpisah dari yang namanya tesis, antitesis kemudian sintesis.

Bagaimanapun jalannya dialektika pemikiran itu, setidaknya jangan sampai berargumen tentang Islam Nusantara dengan statemen yang tidak realistis. Baik ia bersikap pro atau kontra, maka semuanya harus didasarkan dengan argumen yang faktual dan tidak mengarang-ngarang sesuatu demi menjatuhkan argumentasi seseorang. Yang perlu di pertegas kembali bahwa “Islam Nusantara” ini bukanlah sebuah aliran, paham dan sebagainya. Ini adalah sebuah terminologi yang di gunakan guna melakukan ikhtiar membentuk sebuah paradigma baru dalam menampilkan wajah Islam Indonesia yang sesuai dengan hakikat ajarannya.

Oleh: Muhammad Hasanie Mubarok, Mahasiswa IAIN Pontianak/ Alumni Ponpes Al Jihad Pontianak/ PMII IAIN Pontianak, dalam tulisannya “Ngaji Islam ala Aswaja Bersama Kiai Ma’ruf Khozin”/ Muslimedianews.

KH Cholil Nafis: Detik-Detik Pergantian Tahun Baru Menyadarkan Manusia Akan Berputarnya Waktu

$
0
0

Detik-detik pergantian tahun 2015 menuju 2016 menyadarkan manusia akan waktu yang berputar. Waktu berjalan secara alamiah dan tak pernah terulang kembali. Setiap orang mempunyai kesempatan dan waktu yang sama namun cara menggunakannya yang berbeda-beda, sehingga membedakan kualitas hidupnya.

Kualitas hidup manusia tergantung pada efektifitas penggunaan waktu, bukan seberapa lama dia dalam menjalani waktu. Umur umat Nabi saw terpendek dalam sejarah umat manusia sekitar 60-an atau 70-an tahun tetapi menjadi umat yang terbaik(khaira ummah) dibanding umat nabi-nabi terdahulu yang hidup panjang ratusan tahun.

Umat Nabi Muhammad saw diberi barakah sehingga hidup yang singkat dapat dilipatgandakan kualitasnya melebihi hidup dalam waktu Allah SWT telah mengingatkan betapa pentingnya waktu melalui sumpah-Nya. Dalam al-Qur’an terdapat empat surat yang diberi nama oleh Allah dengan nama waktu. Yaitu surat al-Fajr (waktu fajar) surat ke 89, surat adh-Dhuha (waktu Dhuha) surat ke 93, surat al-‘Ashr (waktu ‘Ashr) surat ke 103, dan al-Lail (waktu malam) surta ke 92. Dalam empat surat tersebut menunjukkan siklus kehidupan dan penggunaan waktu yang efektif.

Pertama, Allah bersumpah dengan al-Fajr (waktu fajar), Allah mengaitkan pembicarannya dengan akal dan proses berfikir (al-Fajr [89] : 1-5) “Demi fajar. Dan malam yang sepuluh. Dan yang genap dan yang ganjil. Dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.”

Sebuah isyarat, bahwa waktu fajar semestinya dipergunakan manusia untuk berfikir, persiapan, perencanaan sebelum melakukan pekerjaan. Waktu fajar juga berarti waktu kecil dan waktu muda manusia, yang semestinya dipergunakan untuk menimba ilmu, mencari bekal dan persiapan untuk menghadapi perjuangan hidup di kala dewasa.

Kedua, Allah bersumpah dengan waktu Dhuha (surat 93), maka pembicaraan Allah terkait dengan amal dan tuntutan kepada manusia untuk berbuat. Dhuha berarti cahaya yang ditunggu semua makhluk, baik bagi manusia, hewan maupan tumbuhan. Disebutkan dalam ayat 9-11 “Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”.

Memberikan isyarat, bahwa waktu Dhuha untuk berbuat dan memperlihatkan bakti kepada orang lain dan lingkungan. Tentunya yang demikian adalah orang yang di waktu Dhuha bekerja keras untuk kehidupan dirinya dan orang lain. Merupakan sunnatullah, bahwa orang yang memiliki kecukupan dengan kerja kerasnya jika berderma akan dapat meringankan orang lain. Sebab hanya orang yang memiliki yang dapat memberi. Orang yang tak punya tidak akan dapat memberi.

Ketiga, Allah bersumpah dengan al-‘Ashr (waktu sore) surat 103), Allah mengaitkan pembicaran-Nya dengan kerugian dan penyesalan manusia. Sepertinya dalam ayat 1-2; “Demi masa. Sesusngguhnya semua mansuai berada di dalam kerugian.” Memberikan isyarat, bahwa yang tidak melakukan persiapan di waktu fajar, yang tidak bekerja pada waktu Dhuha dan siang, yang tidak belajar di waktu kecil, dan yang tidak membuat di waktu muda, maka di waktu tua dia akan menyesal dan menjadi orang yang merugi. Kerugian baru dirasakan seseorang ketika sudah memasuki usia senja. Akan tetapi, saat itu kondisi sudah tidak dapat diulang dan diperbaiki selain penyesalan dan meratapi diri.

Keempat, Allah bersumpah dengan waktu malam (al-Lail) surat 92, Allah swt mengaitkan pembicaraan-Nya dengan dua kondisi; Pertama, kesusahan dan kesulitan (al-‘usr, ayat 10), serta neraka yang menyala (nâran talazhzhâ, ayat 14). Kedua, kemudahan dan ketenangan (al-yusr, ayat 7), dan puncak kebahagiaan (ridha Allah, ayat 21). Memberi isyarat, bahwa yang melakukan persiapan di waktu Fajar, bekerja di waktu pagi dan menggunakannya dengan baik maka dia akan menjadi orang yang beruntung dan di akhir hidupnya akan memperoleh puncak kebahagiaan. Jika dia tidur, maka dia akan tidur dengan pulas dan bahagia. Jika dia mati, dia akan mati dengan penuh ketenagan dan kebahagiaan.

Sebaliknya, dia akan menjadi makhluk yang tidak berguna, baik bagi dirinya maupuan bagi lingkungannya. Di hari tua, dia akan menyesal dan merugi serta akan meratapi diri sendiri. Di waktu malam datang, dia akan berada dalam kesulitan hidup, bahkan untuk tidurpun teramat susah baginya. Jika dia mati, maka dia akan berada pada puncak penyesalan. Waktu bagaikan pedang. Jika digunakan dengan baik akan mampu mengangkat manusia ke derajat terhormat, jika tidak digunakan dengan baik maka akan menistakan pada kehinaan.

Waktu terasa cerah dan panjang bagi yang bangun sejak fajar dan terasa pendet dan sesak bagi yang bangun siang siang hari. Awal waktu yang baik biasanya akan berjalan baik dan berakhir dengan sukses. Awalilah tahun 2016 dengan kebaikan, buatlah resolusi tahunan untuk dicapai agar menjalaninya dengan terarah menuju kesuksesan dan berakhir dengan kebahagiaaan.

Oleh: Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, KH Cholil Nafis, Ph D/ Detik.

Inilah Kondisi Terkini Tempat Kelahiran Rasulullah, Tempo Dulu, dan Kemungkinan Akan Datang

$
0
0

Ziarah atau mengungjungi tempat-tempat bersejarah seperti tempat kelahiran Nabi Muhammad Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, rumah yang pernah dihuni Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersama Siti Khadijah, makam Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan tempat-tempat lain yang pernah disinggahi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam adalah salah satu bukti nyata kecintaan seorang insan kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Peninggalan sejarah Islam itu sekaligus juga menjadi bukti dan saksi bisu bagaimana perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabat dalam menyebarkan agama Islam. Dari sinilah awal mula Islam tersebar ke seluruh pelosok negeri termasuk negeri tercinta Indonesia.

Sayangnya peninggalan dan bukti sejarah Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam perlahan-lahan mulai hilang tak berbekas. Jika kita umat Islam berkunjung ke Mamlakah, Arab Saudi, lalu menanyakan dimana rumah tempat Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dulu dilahirkan atau kamarnya, maka jangan harap dapat menemukannya. Rezim Arab Saudi sudah lama menghancurkan tempat kelahiran Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam yang kini menjadi perpustakaan umum “Maktabah Makkah al-Mukarramah”. Sementara rumah yang didiami Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersama Sayyidah Khadijah Radhiyallohu ‘Anha yang berada di dekat pintu Babussalam Masjidil Haram sekarang sudah tidak ada bekasnya sama sekali.

Saat ini kondisi tempat kelahiran Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam yang berukuran 10×18 meter tampak tidak terawat dan sangat memprihatinkan. Tempat itu menjadi salah satu tempat terkumuh di Makkah yang berada diantara gedung-gedung yang mewah nan megah. Untuk masuk ke tempat itu pun tidak mudah, karena para penjaga selalu mengingatkan agar para pengunjung cukup melihat dari pintu saja dan tidak boleh berlama-lama. Pada musim haji, tempat itu justru ditutup rapat dan dilarang keras untuk dimasuki siapapun, padahal banyak jama’ah haji dari berbagai penjuru dunia ingin sekali melihat tempat kelahiran sosok manusia paling mulia yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pembawa risalah Islam rahmatan lil ‘alamin. Jangankan untuk masuk ke dalam, mendekati saja sudah kena teguran dan bahkan diusir.

Sudah lebih dari 14 abad semenjak Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dilahirkan, umat Islam dari seluruh penjuru jagat raya senantiasa mengenang beliau. Terlebih di bulan Rabi’ul Awwal, bulan kelahiran Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, umat Islam dari berbagai negara senantiasa mengadakan peringatan untuk mengenang kelahiran Rasulullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Majelis-majelis maulid dimana-mana dipenuhi dengan lautan manusia yang ingin mensyukuri nikmat atas kelahiran Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Beragam sambutan pun diadakan dalam rangka Maulid Nabi itu.

Di tengah gegap gempitanya majelis maulid Nabi di seluruh dunia menyimpan satu hal yang membuat ironi kita semua, yakni terkait tempat kelahiran Nabi. Ya, maulid Nabi tidak terlepas dari tempat kelahiran Nabi. Tempat yang menjadi bukti sejarah adanya maulid Nabi. Kini, tempat itu terancam hilang dan musnah. Dan bukan mustahil di masa yang akan datang tempat kelahiran Nabi akan bernasib sama sebagaimana rumah yang pernah didiami Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersama Sayyidah Khadijah Radhiyallohu ‘Anha yang sekarang ini sudah hilang dan musnah tak berbekas. Sudah berkali-kali dikabarkan rezim Arab Saudi berusaha membongkar tempat tersebut. Diceritakan di dalam kitab A’lamul-Hijaz oleh M. Ali Magribi, cetakan pertama 1401H/1981M yang diterbitkan oleh Idarah Annasyr Bi-Syarikah Tuhamah, Silsilah al-Kitab Assaudi, tempat kelahiran Nabi pernah menjadi stasiun bis/ terminal. Kemudian pada tahun 1950-an, Gubernur Makkah Al Mukarramah saat itu, Syaikh Abbas al-Qatthan mengubahnya menjadi bangungan perpustakaan. Perpustakaan itu sengaja dibangun mengelilingi rumah tempat kelahiran Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan tujuan untuk menutupi jejak kelahiran Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan juga agar tidak mudah diakses oleh publik, karena pada saat itu banyak warga Makkah yang berdatangan untuk ngalap berkah dan shalat sunnah di tempat kelahiran Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tersebut.

Dan tahukah anda, bagaimana penampakan asli tempat kelahiran Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sebelum jatuh ke tangan Dinasti Saudi? Sebelum dihancurkan, ada sebuah masjid kecil yang dibangun oleh Dinasti Utsmaniyyah sebagai penanda tempat kelahiran Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam berikut dengan kubah dan menara kecil. Peninggalan bangungan masa Dinasti Utsmaniyyah itu sekarang sudah tidak ada bekasnya sama sekali, yang ada hanya tampak perpustakaan yang dibangun Dinasti Saudi. Tidak jelas apa yang akan terjadi terhadap nasib perpustakaan itu setelah rencana ekspansi perluasan Masjidil Haram dan kota Makkah selesai. Akan tetapi berdasarkan rencana dan model yang dikeluarkan Kerajaan Arab Saudi menunjukkan bahwa area yang menjadi tempat kelahiran Nabi Muhammad kemungkinan hanya akan dijadikan sebagai area kosong tanpa struktur bangungan. Dan sekali lagi, tidak mustahil tempat lahir Nabi pun akan hilang, musnah, dan tidak ada bekasnya sama sekali. Pemerintahan negara dan umat Islam dari seluruh dunia mesti mengawal ekspansi yang dilakukan Saudi agar tempat kelahiran Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan tempat-tempat bersejarah lainnya tidak ikut dihancurkan dan dilenyapkan.

Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan telah mengingatkan umat Islam akan fenomena penghancuran tempat-tempat sejarah yang menjadi bukti peradaban Islam ini. Rais Aam Idaroh Aliyah Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah ( JATMAN) itu berkata;

“Orang (umat agama) lain punya bukti sejarah. Dimana itu kelahiran Tri Murti bisa tunjukkan candinya, itu bagi orang Hindu. Yang orang Budha nunjukkan candinya peninggalannya; Ini lho peninggalan Buddha Gautama. Yang Orang Kristen bisa tunjukkan; Ini lho tiang salibnya, beliau disalib di sini dan ini kain kafannya dan ini tempat kelahiran beliau Isa ibnu Maryam. Tapi ketika kita ditanya sebagai orang muslim dimana bukti kelahiran Baginda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. TIDAK ADA BUKTINYA… TERTUTUP. Sadar Kita sudah… kalau bukti sejarah ini sudah di potong habis, bisa dianggap cerita (tentang Nabi Muhammad) itu cuma dongeng”.

VIDEO: PESAN MAULANA HABIB LUTHFI BIN YAHYA PEKALONGAN

 

ATAU LIHAT VIDEONYA DI YOUTUBE

Untuk mengetahui lebih jelas tentang kondisi terkini, terdahulu, dan kemungkinan rencana di masa datang akan tempat kelahiran Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dapat dilihat melalui gambar yang kami sertakan di bawah.

KONDISI TERKINI TEMPAT KELAHIRAN NABI MUHAMMAD SAW

Tempat Kelahiran Rasulullah

Tempat Kelahiran Rasulullah

Tempat Kelahiran Rasulullah

Tempat Kelahiran Rasulullah

Tempat Kelahiran Rasulullah

.

MASA SEKARANG: TEMPAT KELAHIRAN RASULULLAH SAW KINI MENJADI PERPUSTAKAAN

Tempat Kelahiran Rasulullah Jadi Perpustakaan

Tempat Kelahiran Rasulullah Jadi Perpustakaan

Tempat Kelahiran Rasulullah Jadi Perpustakaan

Tempat Kelahiran Rasulullah Jadi Perpustakaan

Tempat Kelahiran Rasulullah Jadi Perpustakaan

.

MASA DEPAN: TEMPAT KELAHIRAN RASULULLAH SAW MUNGKIN AKAN MENJADI AREA KOSONG

Tempat Kelahiran Rasulullah Mungkin Akan Dikosongkan

Tempat Kelahiran Rasulullah Mungkin Akan Dikosongkan

.

MASA TEMPO DULU: TEMPAT KELAHIRAN RASULULLAH SAW DIBANGUN SEBUAH MASJID DENGAN KUBAH DAN MENARA KECIL

Tempat Lahir Nabi Dulu Terdapat Masjid, Kubah, dan Menara

Tempat Lahir Nabi Dulu Terdapat Masjid, Kubah, dan Menara

Tempat Lahir Nabi Dulu Terdapat Masjid, Kubah, dan Menara

Baca juga: Inilah Fakta Terkini Peninggalan Sejarah Islam dan Tempat Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Photos courtesy of Ilmfeed, Omar AlMudhwahi and As-Sunnah Foundation of America.


Kiai Sahal Mahfudh, Lahir, Hidup Dan Wafat Diantara Para Santri

$
0
0

Kiai Sahal Mahfudh terlahir dengan nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudh bin Abdus Salam. Beliau lahir di desa Kajen, kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, pada tanggal 17 Desember 1937. Tanggal tersebut sebagaimana yang tertera dalam dokumen resmi seperti Kartu Tanda Penduduk dsb. Namun belakangan ditemukan sebuah catatan lama milik ayahandanya yang menerakan tanggal lahir kiai Sahal yang sebenarnya bukanlah tanggal 17 Desember 1937, namun tanggal 16 Februari 1933 M. Data terakhir ini belum banyak dipublikasikan karena memang baru diketemukan kurang lebih dua tahun sebelum kiai Sahal Wafat.

Perbedaan mengenai data tanggal lahir ini penting terutama bagi para peneliti yang bermaksud untuk belajar tentang kehidupan kiai Sahal berdasarkan kronik atau urutan waktu, tanggal maupun usia. Perbedaan data mengenai tanggal lahir ini pula yang menyebabkan adanya perbedaan keterangan yang menyatakan bahwa kiai Sahal ditinggal wafat oleh ayahandanya pada usia 7 tahun, jika merujuk tanggal lahir kiai Sahal adalah tanggal 17 Desember 1937. Namun, kiai Sahal sendiri mengaku bahwa beliau ditinggal wafat oleh ayahandanya ketika berusia 11 tahun, dan ini sangat cocok jika merujuk tanggal lahir beliau adalah 16 Februari 1933.

Perbedaan tanggal lahir ini juga kemudian berdampak pada pernyataan yang tidak sama mengenai pada usia berapa kiai Sahal Wafat. Jika merujuk pada tanggal yang pertama, 17 Desember 1937, maka kiai Sahal wafat pada usia 77 tahun. Namun jika merujuk pada data tanggal lahir yang kedua, 16 Pebruari 1933, maka kiai Sahal wafat pada usia 81 tahun.

Sejak kecil sampai akhir hayatnya, Kiai Sahal tidak pernah lepas dari kehidupan pesantren. Beliau lahir dari Ibundanya, nyai Badi’ah dan ayahandanya, kiai Mahfudh bin Abdus Salam. Jika dirunut lebih jauh, keluarga ini mempunyai jalur nasab sampai kepada KH Ahmad Mutamakkin yang juga diyakini sebagai seorang waliyulloh yang menyebarkan agama Islam di wilayah Kajen dan sekitarnya. Hingga kini, jejak perjuangan KH. Ahmad Mutamakkin masih dapat ditelusuri. KH. Ahmad Mutamakkin wafat dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati. Pati adalah kota kecil di wilayah Jawa Tengah. Letak geografisnya yang menjorok ke utara dan tidak dilewati oleh jalur utama antar-propinsi menyebabkan transportasi menuju kota ini tidak mudah dilalui. Desa kajen, tempat kiai Sahal lahir dan berdomisili adalah desa yang masih berjarak kurang lebih 22 km dari pusat kota kabupaten. Namun meski demikian, kondisi ini bukan halangan bagi orang-orang dari berbagai penjuru daerah untuk mendatangi Kota kecil pati, dengan Kajen sebagai salah satu tujuan utamanya.

Sahal muda menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Islam Matali’ul Falah pada tahun 1953. Selepas dari Mathali’ul Falah, beliau melanjutkan pendidikannya di sebuah pesantren di desa Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur hingga tahun 1957. Setelah dari Kediri, kiai Sahal memutuskan untuk memperdalam Ushul Fiqh dengan mengaji secara langsung kepada kiai Zubair di pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah hingga tahun 1960. Selama di Sarang inilah kiai Sahal banyak melakukan diskusi melalui surat-menyurat dengan ulana kharismatik asal Padang yang berdomisil di Makkah al Mukarromah. Karenanya, usai nyantri di Sarang, Rembang, saat berkesempatan menunaikan ibadah haji, kiai Sahal bertemu dan berguru secara langsung kepada Syeikh Yasin al Fadani di Makkah untuk pertama kalinya. Kesempatan untuk bertemu dan berguru lagi kepada syeikh Yasin al Fadani datang untuk kedua kalinya ketika kiai Sahal menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya bersama istri tercinta, nyai Nafisah Sahal. Kesempatan kedua ini merupakan saat dimana kiai Sahal dan nyai Nafisah Sahal banyak menerima ijazah secara langsung dari syekh Yasin.

Meski menghabiskan masa pendidikan dari pesantren ke pesantren, namun disiplin ilmu yang dikuasai Kiai Sahal cukup beragam. Kiai Sahal dikenal bukan saja menguasai keilmuan yang lazim dipelajari di pesantren seperti Bahasa Arab, Tafsir, Fiqh, Hadis, Ushul Fiqh, Tasawwuf, Mantiq, Balaghah dan lain-lain. Namun, lebih dari itu, kiai Sahal merupakan ulama yang fasih berbicara diantara kaum intelektual kota dan para akademisi. Hal ini dikarenakan selain tinggak kecerdasan di atas rata-rata yang dimilikinya, kiai Sahal juga merupakan ulama yang tak pernah lelah belajar. Kiai Sahal selalu bersemangat untuk mempelajari hal-hal baru yang dirasa bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Semangat belajar ini ditunjukkan beliau sejak usia muda yakni dengan berusaha mempelajari bahasa Inggris, bahasa Belanda, tata negara, administrasi dan filsafat melalui kursus privat, baik di Kajen, Pati maupun selama mondok di Bendo, Kediri.

Kiai Sahal memiliki aktifitas yang beragam. Selain sebagai Pengasuh Pesantren Maslakul Huda dan Direktur Perguruan Islam Mathali’ul Falah, beliau juga memimpin beberapa organisasi. Sebelum akhirnya dipercaya menduduki posisi tertinggi dalam organisasi Nahdlatul Ulama, kiai Sahal telah aktif dalam organisasi tersebut semenjak dari level terbawah. Tercatat kiai Sahal pernah menjabat Katib Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Pati sejak tahun 1967-1975. Ketika itu, NU masih menjadi organisasi politik. Beliau juga tercatat pernah menjadi ketua Robithoh Ma’ahid Jawa Tengah dan ketua MUI Jawa Tengah. Aktifitas beliau di NU terus berlanjut hingga kiai Sahal dipercaya sebagai Wakil Rois ‘Am hingga akhirnya Rois ‘Am Nahdlatul Ulama selama tiga kali periode berturut-turut. Yakni pada muktamar NU di Lirboyo pada tahun (1999), kemudian muktamar NU di Solo pada tahun (2004) dan muktamar NU di Makassar (2010). Selain sebagai Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, beliau juga dipercaya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Bahkan ketika wafat, kiai Sahal masih dalam masa menyelesaikan masa bhaktinya di kedua lembaga tersebut.

Selain aktif di tinggal nasional, Kiai Sahal juga melakukan gerakan nyata di level lokal. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai lembaga pendidikan, ekonomi dan kesehatan yang diinisiasi oleh kiai Sahal. Namun, meski demikian, kiai Sahal tidak otomatis duduk dalam struktur semua lembaga yang diinisiasinya. Seperti dalam dua bank (BPR Artha Huda Abadi dan BPRS Artha Mas Abadi), kiai Sahal sejak awal pendiriannya tidak duduk dalam struktur kepengurusan bank yang didirikannya itu, serta tidak memiliki saham di dalamnya. Namun beliau secara aktif mensupport lembaga ekonomi tersebut secara kultural dan bersifat konsultatif.

Selain sebagai Rois ‘Am Nahdlatul Ulama dan Ketua Majelis Ulama Indonesia, kiai Sahal juga tercatat sebagai pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Ketua Dewan Syariah Nasional, Anggota Dewan Penyantun Universitas Diponegoro, Semarang, Dewan Pembina Yayasan Kesejahteraan Fatayat yang menaungi Rumah Sakit Islam Pati dan Panti Asuhan Darul Hadlonah. Dewan Pembina Yayasan Nurussalam yang menaungi Perguruan Islam Mathali’ul Falah dan Sekolah Tinggi Agama Islam Pati, Rektor INISNU (kini UNISNU) serta masih banyak lagi yang tidak disebutkan dalam tulisan ini.

Meski berat secara fisik, kiai Sahal tetap memilih memimpin organisasi sosial kemasyarakatan terbesar di Indonesia itu tanpa berpindah domisili di ibukota. Karena rasa sayangnya terhadap santri dan pesantren, kiai Sahal memilih tetap tinggal di Kajen, di tengah-tengah santri yang menjadi nadi dan semangat hidupnya untuk terus melakukan pengabdian kepada masyarakat demi kemaslahatan umat. Berbagai penghargaan secara nasional dan internasional telah disematkan kepada kiai Sahal. Dari pesantren kiai Sahal membuktikan bahwa berkiprah secara sosial merupakan sebentuk ibadah yang wajib dilakukan oleh manusia untuk menjalankan fungsi kemanusiannya.

Kiai Sahal Mahfudh wafat pada hari jumat, tanggal 24 Januari 2014, pukul 01.00 dini hari. Terbilang sejak tahun 2008 sebenarnya beliau mengalami penurunan kondisi kesehatan, namun semangat beliau untuk terus mengabdi untuk masyarakat membuat beliau terus berusaha memenuhi keinginan umat yang mengharapkan beliau memimpin Nahdlatul Ulama.

Demikian pula saat-saat terakhir hidupnya, setelah enambelas hari di rawat di rumah sakit, beliau memaksa untuk pulang dan meminta untuk di rawat di kediaman beliau. Demikianlah, meski tetap berada dalam pengawasan dokter dan tenaga medis lainnya, kiai Sahal memilih menghabiskan seminggu terakhir hidupnya di antara keluarga dan para santri yang dicintainya. Berdasarkan wasiat yang ditinggalkannya, kiai Sahal akhirnya dimakamkan di komplek pemakaman KH Ahmad Mutammakin, berdekatan dengan makam ibundanya, nyai Badi’iyyah. Di tempat beliau dimakamkan kini itulah selama hidupnya, kiai Sahal secara istiqomah duduk bersimpuh berlantunkan tahlil pada jumat ba’da shubuh.

Oleh: Tutik N. Jannah, Fiqh Sosial Institute Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah Pati Jawa Tengah/ Muslimedianews.

NU Rahmatan Lil ‘Alamin

$
0
0

Tulisan ini diawali dengan sebuah fakta, bahwa Indonesia bukan hanya negeri dengan sejuta Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, strategis sebagai jalur perdagangan internasional. Indonesia juga adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, heterogen di berbagai aspek: budaya, bahasa, mazhab, namun tetap berada dalam suasana damai dan toleran. Beberapa sahabat saya dari Iran yang pernah tinggal beberapa bulan di Indonesia bahkan menyebutnya sebagai surga. Mengapa? Ya, karena di sini perbedaan mazhab hidup layak dan berdampingan, layaknya di surga.

Dua tahun yang lalu kami mendampingi delegasi Indonesia dalam perhelatan MTQ Internasional ke-29 di Tehran, Iran, bertepatan dengan memanasnya konflik di Suriah yang juga terasa hingga ke negeri para mullah ini. Tak kurang 50 negara dari Eropa, Asia, Timur Tengah hingga Amerika Latin mengirimkan delegasinya. Indonesia mendapatkan peringkat ke 3 itu hal lumrah, tapi bukan itu yang menarik perhatian saya.

Adalah ketertarikan delegasi dari negara-negara timur tengah seperti Bahrain, Suriah, Mesir hingga Arab Saudi terhadap budaya Indonesia yang begitu ramah dan penuh kedamaian. Hal yang mereka soroti adalah, umat Islam Indonesia menempatkan Islam sebagai pemersatu. Walaupun terdapat beragam mazhab dan pemikiran serta suku, namun hal tersebut tak menjadikan alasan untuk berselisih dan bahkan berkonflik, berbeda dengan negara-negara muslim di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya yang begitu mudah tersulut konflik karena perbedaan madzhab maupun kepentingan kelompok dan golongan. Begitu besar keingintahuan mereka akan Indonesia yang belum pernah mereka baca secara utuh.

Bagi dunia Barat, Indonesia sudah sangat familiar dengan berbagai dinamika keberagamaan yang sangat menjunjung tinggi toleransi dan perdamaian. Hal ini disebabkan intensnya dialog antara Indonesia dengan dunia Barat, terutama melalui para sarjana kedua belah pihak yang melakukan studi. Indonesia banyak mengirim para pelajar untuk menimba ilmu di berbagai negara Barat, begitu pun sebaliknya. Sehingga wajar jika transformasi pengalaman keduanya telah terjalin dalam waktu yang cukup lama.

Dialog Intra Dunia Islam

Sementara, transformasi pemikiran, keilmuan dan pengalaman dengan negera-negara muslim di kawasan Timur Tengah sangatlah minim, bahkan bisa disebut sangat jomplang. Kita lebih banyak mengirim pelajar untuk menempuh pendidikan di negera-negara timur tengah, sementara hanya sedikit mereka yang belajar di Indonesia. Saya teringat dengan ide Azyumardi Azra, bahwa sudah saatnya Timur Tengah belajar Islam kepada Indonesia. Selain akan terjadi transfromasi pengalaman dna keilmuan, juga sebagai pintu untuk dialog keagamaan yang cenderung terputus di antara kelompok-kelompok muslim di kawasan Timur Tengah.

Kita semua melihat bahwa perhatian muslim Indonesia terhadap isu-isu dunia Islam begitu besar, seperti Palestina misalnya. Tidak hanya demonstrasi, bahkan telah banyak relawan dan donasi telah disalurkan kepada masyarakat Palestina. Begitu pun, Indonesia berperan dalam pasukan perdamaian seperti di Sudan dan Lebanon, bahwa Indonesia dipilih bukan tanpa sebab. Pengalaman Indonesia sebagai negeri muslim yang moderat adalah satu di antara alasan kuat yang menempatkan Indonesia diterima oleh seluruh kelompok yang berselisih. Dari beberapa diplomat kita di Timur tengah saya sempat mendengar, bahwa Indonesia didesak pula berperan dalam perdamaian di Afghanistan dan Irak.

Melihat kenyataan di atas, kita meyakini bahwa bukan hanya Barat yang berkeinginan agar Indonesia memperkuat perannya dalam dialog peradaban Islam-Barat, namun juga negara-negara muslim sangat merindukan peran Indonesia dalam menjembatani dialog internal, dialog Sunni-Syiah misalnya. Bagaimanapun konflik yang kini terjadi semakin berkembang pada konflik sektarian, walaupun tak bisa kita pungkiri ada begitu kuat kepentingan politik dan ekonomi di balik semua itu.

NU dan Transformasi Moderasi Islam

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang telah menegaskan perannya dalam penguatan moderasi Islam, tentu sangat ditunggu kontribusinya terhadap dialog peradaban intra umat Islam, antar dunia Islam. Hal yang lebih besar adalah NU menjadi mediator dunia Islam, menjembatani dialog keagamaan dalam meminimalisir konflik yang kian hari semakin meruncing dan kompleks.

Dengan jaringan, SDM dan infrastruktur yang luas, NU akan lebih leluasa membuka akses dialog, baik goverment to goverment (G to G) maupun people to people (P to P). Dalam konteks diplomasi G to G, tentunya akses tersebut telah diemban oleh Kementerian Luar Negeri, hanya perlu penguatan beberapa aspek saja. Hal lebih besar adalah bagaimana menjembatani dialog P to P internal dunia Islam. Indonesia harus mendorong terbukanya akses dialog agar ide dan pesan masyarakat muslim Indonesia dapat tersampaikan secara baik kepada dunia Islam, kepada kelompok-kelompok yang tengah berkonflik.

Kita jangan terlalu sibuk mengorek kesalahan asing dalam konflik umat Islam, kita harus akui bahwa minimnya dialog internal dunia Islam, baik dalam level G to G maupun P to P, berkontribusi besar terhadap lahirnya konflik. Semakin tajamnya konflik Sunni-Syiah dan menyeret pemerintahan beberapa negara terlibat dalam konflik, adalah cermin bahwa dialog tersebut tersendat, bahkan bisa dikatakan terputus. Maka, dialog P to P akan memberi ruang yang luas bagi upaya perdamaian di saat diplomasi dan dialog G to G banyak terkendala berbagai kepentingan politik, ekonomi dan lainnya.

Dialog juga akan menjembatani transformasi moderasi Islam yang telah dibangun berpuluh-puluh tahun oleh ulama dan tokoh agama di Nusantara. Pengalaman Indonesia dalam membangun toleransi internal dan eksternal, mengelola konflik dan membangun harmoni dalam keragaman, adalah pengalaman yang juga dibutuhkan dunia Islam yang terkenal heterogen. Pada akhirnya, kita mendorong agar trasformasi pengalaman keberagamaan Nusantara dapat menjadi penengah atau bahkan solusi saat hubungan antar dunia Islam tengah merenggang.

Kita mendambakan NU tampil sebagai lokomotif perdamaian dunia Islam, sebagaimana perannya dalam merajut harmoni nusantara. Keberadaan NU adalah kabar gembira bagi perdamaian dunia, karena NU itu adalah rahmatan lil’alamin. Harapan ini tentu bukan sekedar puja puji, akan tetapi didasarkan pada fakta dan pengalaman, bahwa NU memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam berdialog dengan seluruh dunia, baik Barat mupun dunia Islam. Dan pada saat yang bersamaan, sejarah panjang moderasi Islam di Indonesia menempatkan bangsa ini begitu diterima kehadirannya oleh dunia Islam, meskipun mazhabnya berbeda. Tentu, kedua hal inilah kekuatan yang kita titipkan pada keluarga besar nahdliyyin.

Wallahu a’lam bishowab.

Oleh: Jaja Zarkasyi, MA, Direktur Rumah Moderasi Islam (RUMI)/ Dirjen Bimas Islam Kemenag RI.

Kisah Nyata: Berkat Shalawat, Lesbian Tobat

$
0
0

Tiga mantan lesbian asal Jakarta mengikuti shalawatan dan santunan yatim di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Ahad (3/1/2016). Mereka mengaku terketuk hatinya saat mengikuti agenda tersebut.

Pengasuh Pondok Pesantren Buntet Cirebon KH Ayip Abbas Abdullah yang hadir dalam kesempatan itu mengajak seluruh elemen untuk memperlakukan siapapun dengan baik. Tak terkecuali mereka yang tenggelam di dunia hitam. “Agama adalah akhlak. Marilah sama-sama kita berusaha memanusiakan manusia. Siapapun orangnya,” katanya.

Imel (nama samaran), mantan lesbi mengaku hidupnya tenang. Gelisah yang dulu selalu menerpa ketika di dunia lesbi, kini menghilang. “Jiwa saya tenang sekali. Ada perasaan yang sulit digambarkan. Visual dosa saya tergambar dari kecil. Semua dosa terlihat nyata sekali. Saya menyesal menjadi lesbi,” tuturnya.

Imel mengaku baru setahunan berhenti menjadi lesbian. Dalam hidupnya, ia sudah 20 tahun terkungkung dalam dunia perlesbianan. Setiap kali mengikuti shalawatan dan santunan tak kuat untuk membendung tangis. Kali pertama mengikuti agenda itu ketika di Jakarta setahun lalu. “Pertama ikut, jiwa saya bergejolak. Lalu berpikir dan memutuskan berhenti jadi lesbi. Sangat berat, Mas.”

Segendang sepenarian. Dini merasakan hal sama. Bedanya, Imel sebagai butchy alias buci, lesbi yang jadi pria; sedangkan Dini sebagai lesbi femme, pelaku sebagai pasangan wanitanya.

“Susah diceritain Mas. Rasanya hati adem. Lalu begitu menyesal tercebur ke lesbi. Saya ingin kembali ke agama,” ucap Dini. Ia telah meninggalkan lesbi setahunan juga usai mengikuti shalawatan dan santunan yatim.

Sudah Merambah Remaja Putri

Dini mewanti-wanti para wanita agar jangan sekali-kali tercebur ke dunia lesbi. Rasa sesalnya seumur hidup. Untuk seluruh orang tua, Dini juga mengingatkan agar mengawasi buah hati wanitanya secara ketat.

“Sekarang lesbi ada juga yang masih SMP. Hati-hati untuk orangtua. Virus lesbi menyebar lebih cepat dari narkoba. Bahkan lebih cepat dari api membakar bensin,” ungkap Dini.

Jika sudah tercebur ke dunia lesbi; alkohol, narkoba, dan seks bebas pasti merasakan. Lalu, kegelisahan hidup akan berlipat-lipat. Hidup tidak tenang. Hal itu diamini Imel dan satu mantan lesbi lainnya, Tika. Dini dan Tika sudah tercebur ke dunia lesbi selama 15 tahun.

Ketiganya berhenti jadi lesbi usai mengenal shalawatan dan yatiman. Sejak itu, mereka terus aktif mengikuti dalam kegiatan tersebut. Meski di Cirebon, mereka tempuh juga.

Tika menambahkan, “Kalau dulu kami selalu gelisah, sekarang ketenangan hidup kami begitu luar biasa. Alhamdulillah. Dan ternyata pesta-pesta dalam lesbi cuma kamuflase rasanya. Setelah pesta menambah ketidaktenangan hidup.”

“Please, jangan pernah terjebak di dunia lesbi,” pinta Tika. (Red: Mahbib/ NU Online/ Muslimedianews)

Tahlilan, Strategi Konservatif Hadapi Tantangan MEA

$
0
0

“Talilan”, siapa yang tidak kenal satu kata ini. Sebuah amalan keagamaan yang familiar dilakukan oleh masyarakat muslim Indonesia yang mungkin juga beberapa daerah di Malaysia. Tahlilan khas dikenal dengan berkumpulnya beberapa muslim di suatu tempat disertai dengan bacaan-bacaan kalimah toyyibah bersama-sama, khususnya bacaan tahlil (laa ilaa ha illallah), yang ditujukan untuk ibadah serta mendoakan saudara muslimin yang telah menghadapNya.

Ritual tahlilan sudah dikenal masyarakat muslim Indonesia sejak abad pertengahan yang lalu. Beberapa sumber menyebutkan bahwa tahlilan merupakan adopsi tata cara ibadah kepercayaan pribumi pra islam yang kemudian dimodifikasi oleh para pendakwah Islam menjadi suatu kegiatan positif bernuansa Islam dengan tetap mempertahankan kearifan lokal. Bagi orang NU, tahlilan mungkin kegiatan yang kurang afdhol jika tidak dilakukan. Di samping itu bisa kita duga jutaan muslim Indonesia melakukan tahlilan setiap harinya.

“Tahlilan” yang identik dengan kegiatan keagamaan ternyata memiliki fungsi lain dari fungsi utama sebagai sarana ibadah. Kegiatan berkumpulnya muslimin yang khas ini memiliki arti penting yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan sains. Bagaimana bisa? Mari kita ulas bersama.

Indonesia, Megabiodiversity Country

Sudah tidak asing lagi bahwa Indonesia merupakan salah satu area dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity country). Iklim tropis basah dan bentuk negara kepulauan menjadikan segala makhluk hidup di nusantara ini, tumbuh, dan bereproduksi dengan baik. Keberadaan kekayaan hayati yang luar biasa ini merupakan modal berharga untuk menunjang segala bentuk pembangunan bangsa.

Kekayaan alam Indonesia yang begitu berlimpah nyatanya belum terkelola dengan baik. Beberapa plasma nutfah bangsa justru punah akibat ulah tangan manusia Indonesia sendiri. Kita tahu kebakaran hutan yang entah sengaja atau pun bukan terjadi di tahun ini secara luas. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan lebih dari 9.000 hektar hutan terbakar pada tahun 2015. Bisa dibayangkan berapa milyar spesies yang hilang dalam waktu sesingkat itu.

Bencana ini diperparah dengan fakta pulau tersibuk dan terpadat Indonesia, yakni pulau Jawa telah dianggap sebagai pulau dengan krisis akut ekologi. Dilansir dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB memberitakan bahwa sebanyak 241 orang dari kalangan akademisi, peneliti, dan tokoh masyarakat adat telah mengirim petisi terbuka kepada presiden RI untuk mengubah paradigma pembangunan dari yang hanya bertumpu pada ekonomi menjadi lebih memperhitungkan daya dukung ekologi dan berkeadilan. Hal ini dibuktikan dengan fakta pembangunan-pembangunan industri di pulau Jawa yang begitu pesat sehingga terjadi kerusakan alam dimana-mana. Akibatnya bencana alam hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan tak terkendali. Kondisi kerusakan alam ini mengakibatkan kerusakan alam yang berbanding lurus dengan terancamnya biodiversitas hayati kita.

Tahlilan dan Fungsi Konservasi

Tahlilan sebagai sebuah kegiatan keagamaan memiliki karakteristik khas budaya lokal, berupa suguhan hangat jajanan tradisional maupun non tradisional yang khas. Mulai dari buah-buahan yang beraneka ragam, masakan lokal, nasi dengan segala lauknya, kopi, dan teh sebagai pelega dahaga, dan tak lupa cemilan-cemilan lainnya dari hasil bumi setempat.

Kegiatan yang lazim dilakukan oleh penduduk muslim khususnya Nahdliyin ini sudah berhasil menjaga keberadaan plasma nutfah hayati kekayaan alam setempat. Bagaimana tidak, tahlilan tidak akan afdhol jika tidak ditutup dengan sedekah tuan rumah atau hasil iuran bersama berupa suguhan produk-produk alam sekitar yang pastinya beraneka ragam. Hal itu berarti masyarakat akan selalu berfikir untuk menyediakan keberadaan sumber daya lokal hasil bumi mereka. Dengan begitu para petani akan selalu menanam komoditas-komoditas pertanian tersebut untuk kebutuhan pangan masyarakat, termasuk untuk tahlilan yang sangat lazim dan rutin dilakukan. Bisa dibayangkan jika setiap hari jutaan warga Nahdliyin bertahlilan, akan berton-ton pula hasil bumi yang mampu terserap. Dengan demikian, keberadaan plasma nutfah alam Indonesia akan selalu terjaga (terkonservasi).

Tantangan MEA

Meskipun telah terbukti mampu menjadi motor penggerak dalam upaya konservasi sumber daya lokal, tahlilan sebagai ciri kebudayaan muslim nusantara tak luput dari ancaman disorientasi makna konservasi sumber daya lokal. Ancaman ini berupa hilangnya barrier tarrif perdagangan ASEAN sebagai kebijakan bersama negara anggota dibuktikan dengan memudahkan aliran keluar masuk produk dan jasa wilayah ASEAN. Ini memungkinkan Indonesia kebanjiran produk-produk pertanian dari negara-negara tetangga, tak terkecuali hidangan yang biasanya ada di depan kita saat tahlilan. Ditambah lagi kegemaran masyarakat kita yang lebih suka dengan produk asing dibandingkan produk lokal.

Oleh karena itu, fungsi tahlilan sebagai penggerak upaya konservasi berbasis masyarakat lokal harus kita jaga bersama, dengan cara mengapresiasi para petani lokal dengan cara selalu menggunakan produknya di setiap acara tahlilan yang kita adakan. Lebih lanjut lagi, kita bisa selalu mengajak para tokoh-tokoh agama dan orang di sekitar kita untuk tiidak melupakan penggunaan produk lokal dalam setiap tahlilan yang diadakan dengan memberikan makna di balik penggunaan hasil bumi kita.

Salah satunya mungkin dengan jargon “tidak afdhol jika tidak menggunakan pisang ini, buah ini, jajan ini dan itu” yang berimplikasi pada upaya konsumsi produk lokal. Dengan begitu, adanya arus besar produk luar akan terbendung dengan kesadaran masyarakat kita akan pentingnya penggunaan produk lokal dalam upaya konservasi sumber daya hayati Indonesia, sehingga kedatangan MEA 2016 ini bukan lagi menjadi ancaman, namun bisa menjadi tantangan yang perlu kita jawab. Dan salah satu jawabannya adalah dengan “tahlilan”.

(Hasan Bisri/ KMNU Nasional)

Tim Hadrah Polwan Polresta Surakarta Ikut Meriahkan Maulid Nabi Bersama Jamuri

$
0
0

Dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, Polresta Surakarta yang dipelopori oleh ibu Kapolresta Ibu Rina Luthfi bersama Jamaah Muji Rasul Putri (Jamuri) Solo menyelenggarakan pengajian Maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Pengajian yang merupakan bagian dari estafet 30 hari Maulid Nabi Jamuri Solo ini diadakan di Gedung Bhayangkara Polresta Surakarta pada Rabu (6/1/2016).

Acara yang dihadiri oleh muslimat yang mayoritas memakai seragam putih ini berjalan dengan meriah dan khusu’. Pengajian diawali dengan pembukaan lagu Indonesia Raya sebagai wujud kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Pancasila. Hal yang menarik dan istimewa adalah adanya penampilan Tim Hadrah Polwan Polresta Surakarta yang berkolaborasi dengan Tim Hadrah Jamuri Solo.

Sang Vokalis handal Tim Hadrah Polwan, Aiptu Yeyen dan Briptu Fitri melantunkan dengan indah nada-nada shalawat dan qashidah sesaat sebelum acara dimulai, saat selingan Tausiah dan juga saat menutup acara pengajian Maulid Nabi. Kepiawaian Tim hadrah Polwan Polresta Surakarta dalam memainkan rebana tersebut menjadikannya sering diundang untuk tampil dalam acara-acara keagamaan di instansi lain dan juga ikut dalam acara tahunan parade hadrah kota Surakarta.

Tak heran jika Tim Hadrah Polwan Polresta Surakarta ini dibanjiri pujian. Salah satunya datang dari akun Facebook Angga Dirgantara yang menyebut Tim Hadrah Polwan sebagai sosok perempuan calon istri idaman.

Subhanallah mbak polwan, bisa disegala bidang ya. Calon istri idaman banget,” tulis Angga di halaman FP Divisi Humas Polri (11/01/2016).

Berbagai pujian dan apresiasi lain pun terus berdatangan, mulai dari polwan yang cantik, polwan yang serba bisa, polwan yang sholehah, dan lain sebagainya.

Subhanallah mbak polwan ngga hanya cantik parasnya, tapi semua bidang bisa.. Hebat dan salut buat polwan-polwan di indonesia,” puji akun FB Agnis Juwita Permata, (11/01/2016).

Kereeen selain jadi pelindung dan pengayom. ibu ibu polwan ini juga melaksakan kegiatan keagamaan seperti ini,” Diana Prisca ikut senang, (11/01/2016).

“Ini baruuu polwan udah bisa ngurus rumah tangga iya ngurus anak iya ngurus negara juga iya solehah2 lg,” ungkap Harjo Prasetia, (11/01/2016).

Subhanallah udah cantik2 solehah2 tangguh2 juga mantaap ibu2 polwan,” kagum Ardiansyah Putra, (11/01/2016).

Biaaaar polwan perempuan yg sibuk nangkepin penjahat tp masih inget sama Allah salut saluutt polwan indonesia,” Sugiarto salut, (11/01/2016).

Biaaar berseragam pangkat berkilau tapi tetep inget sama Allah subhanallah ibu2 polwan ini,” tulis Devi Yuliani, (11/01/2016).

(Divisi Humas Polri)

Viewing all 120 articles
Browse latest View live